
Belum lama ini, tim sukses tiap capres (calon presiden) RI periode 2014-2019, adu tinggi target rusun (rumah susun) yang akan dibangun. Tim sukses capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pasang target membangun 2.000 menara rusun. Adapun tim sukses capres Joko Widodo-Jusuf Kalla, memancang target lebih tinggi: 5.000 menara rusun.
Muara semua target itu, bagi kita, telah jelas: menyediakan hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Adalah kewajiban negara untuk memasok hunian bagi masyarakat kelompok tersebut, apapun keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan capres Prabowo-Hatta terhadap hasil Pemilihan Presiden 2014.
Di sini, angka 5.000 menara itu terlihat memikat. Bayangkan, ada ribuan menara yang menyebar ke banyak tempat di Tanah Air kita, untuk MBR. Ada banyak hunian jangkung murah sebagai wujud nyata komitmen pemerintah terkait perumahan rakyat. Namun, memadaikah semua itu? Ada banyak hal yang perlu kita simak lebih jauh terkait hal itu.
Belum Menjawab Persoalan
Angka kekurangan pasokan (backlog) perumahan di Indonesia, sekarang ini, sudah menapak 15 juta unit. Dalam arti, 15 juta kepala keluarga se-Indonesia, belum punya rumah nan dimiliki sendiri—sekalipun pembayarannya diangsur.
Kini, kita kembali ke 5.000 menara rusun itu. Dengan asumsi bahwa 5.000 menara itu dibangun oleh sang presiden selama lima tahun (2014-2019), akankah angka 15 juta unit itu tertutupi? Jawaban hal itu sangat jelas: belum.
Dengan asumsi bahwa tiap menara memuat 300 unit rusun, 5.000 menara itu menghasilkan 1.500.000 unit. Nah, angka backlog 15 juta unit itu, menyusut tipis—bukan drastis–menjadi 13,5 juta unit. Walhasil, selaku pelayan rakyat, pemerintahan 2014-2019, masih berutang 13,5 juta unit kepada MBR selaku pihak yang dilayani.
Bagaimana utang 13,5 juta unit itu akan tertutupi? Mungkin jawabnya, dari memerbanyak pasokan rumah tapak sederhana yang diintensifkan. Di sini, 13,5 juta unit rumah murah, harus dibangun selama 2014-2019. Artinya, per tahun, pemerintah mesti bin wajib membangun 2,7 juta unit rumah itu. Dengan demikian, utang 13,5 juta unit tersebut bisa dilunasi, dan selaku pelayan MBR, pemerintahan 2014-2019 tidak lagi punya utang di akhir masa jabatan.
Akan tetapi, apakah persoalan pelunasan utang tersebut, bisa sesederhana itu? Berkilas balik ke pengalaman terdahulu, itu bukanlah hal yang mudah. Bayangkan, belakangan ini, pengadaan rumah murah tidak pernah melewati 200.000 unit per tahun. Maka, apakah mungkin untuk membangun 2,7 juta unit rumah per tahun? Sangat sulit.
Melunasi utang 13,5 juta unit rumah murah dan 1,5 juta unit rusun, jelas perlu kemauan politik luar biasa dan stamina jangka panjang dari semua pemangku kepentingan sektor perumahan rakyat.
Sekarang, marilah kita mengasumsikan bahwa untuk lebih mudahnya, pemerintahan 2014-2019 akan berfokus memacu pembangunan rusun untuk menggasak total backlog 15 juta unit itu. Tidak perlu memikirkan pengadaan rumah murah karena pertimbangan efisiensi pembangunan—antara lain, jumlah lahan yang diperlukan lebih sedikit bila lebih fokus ke rusun.
Berarti, 15 juta unit rusun harus dibangun dalam lima tahun. Secara rata-rata, per tahun, harus memasok tiga juta unit rusun. Di sini, sebelum percepatan pembangunan itu dilakukan, pemerintahan 2014-2019 mesti membereskan sejumlah hal terlebih dulu agar kelak percepatan itu tidak terhambat. Bila diibaratkan, sebelum menggenjot sebuah mobil dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam secara terus-menerus, jalan raya nan tersaji harus benar-benar mulus dan bebas hambatan.
Ada banyak hal yang mesti dibereskan terlebih dulu. Satu di antara itu, dalam segi regulasi, keberadaan Peraturan Daerah (Perda) rusun. Sebenarnya, Pemerintah Daerah (Pemda) yang belum punya Perda tersebut, berjumlah signifikan. Sudah tentu, agar pembangunan rumah susun berlangsung cepat di seluruh Indonesia, semua Pemda perlu punya Perda tersebut. Ini agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum kepada pengembang properti yang hendak menggenjot pembangunan tersebut.
Dalam hal ini, perlu ada koordinasi sangat luas antara berbagai pemangku kepentingan sektor perumahan rakyat. Kementerian Perumahan Rakyat RI (Kemenpera) mesti terus berkoordinasi dengan Pemda, mendesak agar Perda itu segera diterbitkan. Bila masih bertemu gang buntu, tidak ada salahnya bila kementerian tersebut banyak melobi melalui partai politik yang ada di DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), yang lantas mendesak Pemda agar selekas mungkin menerbitkan Perda itu.
Persoalan berikutnya yakni terkait intensif dan stimulus untuk pengadaan rusun. Sangat jelas bahwa, percepatan pengadaan rusun mutlak memerlukan peran pengembang swasta. Dalam hal ini, agar pengembang lebih berminat membangun rusun—yang menelurkan margin keuntungan tidak sebesar apartemen komersial menengah ataupun premium—ada banyak insentif ataupun stimulus yang bisa diberikan.
Keringanan pajak sudah sering disodorkan pemerintah, namun sampai saat ini minat pengembang tersebut belum terlihat melompat drastis. Walhasil, pemerintah perlu menyodorkan insentif nan spektakuler. Antara lain, menyediakan lahan sangat murah bagi pengembang.
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa, untuk sebuah proyek properti, akuisisi lahan merupakan salah satu komponen biaya yang mahal—berkisar 30% dari total investasi. Maka, bila lahan murah sungguh-sungguh dijamin keberadaannya oleh pemerintah, margin keuntungan pengembang bisa bertambah, dan keengganan mereka untuk membangun rusun bisa berkurang.
Misalnya, tatkala pemerintah akan mengalokasikan aset lahan BUMN (badan usaha milik negara) untuk pembangunan tersebut, sejumlah proses hukum perlu diperjelas ataupun dipercepat. Andai kata BUMN X hendak merelakan aset lahan yang nilainya melebihi Rp 100 miliar, bukankah izin dari Kementerian Keuangan RI mutlak diperlukan? Dan telah menjadi pengetahuan bahwa mendapatkan izin tersebut, selama ini, bukan hal yang mudah.
Selain faktor yang telah disebutkan, tentu masih banyak yang lain. Yang jelas, penyelesaian faktor yang ada, sangat memerlukan kemauan politik ekstra kuat dan koordinasi sangat luas dari semua pemangku kepentingan. Dengan demikianlah, pemerintahan 2014-2019 mudah-mudahan di akhir masa jabatannya, bisa melunasi utang backlog 15 juta unit rumah kepada pihak yang menjadi tuannya: MBR.
Sekadar catatan akhir dari penulis, andai kata 15 juta unit rusun itu terwujud, persoalan masih tersisa. Yakni, sejauh ini, harga per unit rusunami (rumah susun sederhana milik) lebih mahal daripada rumah murah yang disubsidi. Maka, besar kemungkinan bahwa pembeli 15 juta unit rusun itu, berasal dari strata-ekonomi yang sedikit lebih baik daripada mereka yang hanya sanggup membeli rumah murah.
Jadi, setelah utang 15 juta unit rusun itu lunas, pemerintahan 2019-2024 mendapat tugas berat tambahan.Yakni, menyediakan hunian murah bagi kelompok MBR yang belum sanggup membeli rusun, hanya sanggup membeli rumah murah.
Soal lain, yakni terkait penambahan backlog dalam kurun waktu 2014-2019. Dengan asumsi bahwa penambahan per tahun mencapai satu juta unit, maka saat utang 15 juta unit itu dilunasi, angka backlog masih tersisa lima juta unit—kumulasi dari penambahan satu juta unit per tahun.
Demikianlah sekadar sumbang saran dari penulis. Mohon maaf bila ada gagasan ataupun kata yang kurang pas.
*Penulis, Achmad Adhito, adalah Wartawan di Majalah BusinessNews Indonesia (www.thebusinessnews.co). Menulis Buku “Lokasi Emas Properti” dan “Jangan Ambil KPR Sekarang”, Bersama Pakar Properti dari Institut Investasi Indonesia, Budi Santoso
Tulisan Ini Merupakan Pendapat Pribadi
achmad_adhito@yahoo.com