Gagasan Revitalisasi Pak RT/RW untuk Properti Perkotaan (Sebuah Tinjauan Sosiologis)*

Foto: Achmad Adhito
Foto: Achmad Adhito

Beberapa waktu lalu, penulis berbincang dengan seorang tokoh yang getol memerjuangkan hak penghuni rumah susun, Ibnu Tadji H.N. Satu gagasan menarik terlontar dari beliau. Apakah? Dia berkata begini, “Ada baiknya agar di setiap kompleks apartemen, Pemerintah mengatur agar ada RT/RW (rukun tetangga/rukun warga) tersendiri. Dengan demikian, hak-hak pemilik rumah susun lebih terjamin. Pihak lain kan segan bila berhadapan dengan RT/RW karena dipayungi Pemerintah.”

Itu adalah hal yang sangat menarik. Sadar atau tidak, beliau sebenarnya melontarkan gagasan pemberdayaan/revitalisasi sebuah lembaga sosial yang sudah mengakar lama di masyarakat Indonesia: RT/RW. Dan lembaga sosial itu dianggap mumpuni untuk melindungi hak pemilikan individu di kompleks rumah susun, tatkala berhadapan dengan kekuatan modal besar.

Sejauh ini, gagasan segar tersebut belum direspons oleh Pemerintah. Sementara, bila Pemerintah Daerah menelurkan payung hukum untuk berdirinya RT/RW di tiap kompleks apartemen/rumah susun, sebenarnya semakin tersadarlah kita bahwa lembaga sosial yang dianggap sudah memfosil, sebenarnya bisa punya fungsi strategis di masa pemusatan modal besar-besaran di korporasi.

Lembaga “Usang” Namun Strategis

Dari sini, muncullah pertanyaan di benak kita lebih lanjut. Yakni, hal seperti apakah di sektor properti perkotaan yang sebenarnya bisa diatur lebih lanjut oleh lembaga sosial “usang” tersebut? Sebelumnya, marilah kita sejenak menengok ke lingkungan properti yang benar-benar dekat dengan kita—lingkungan sekitar rumah, kantor, dan lain-lain.

Terlihat, betapa banyaknya penyimpangan yang berjalan karena tiadanya pengawasan, ataupun dibiarkan oleh Pemerintah Daerah. Di mana Anda berkantor? Di sebuah rumah yang dijadikan kantorkah? Nah, itu berarti penyimpangan  yang dianggap wajar, terjadi di kantor Anda. Sebab, rumah tinggal tidak boleh dijadikan kantor.

Lantas, Anda saat malam hari bertemu rekan bisnis atau hang out di mana? Di sebuah kafe yang terletak di kawasan elit tertentu di Jakarta? Wah, Anda tengah menikmati penyimpangan lagi, soalnya berdasarkan tata ruang, itu sebenarnya kawasan untuk permukiman, bukan area komersial.

Masih banyak hal seperti itu, yang hakikatnya penyimpangan di bidang properti perkotaan. Dan, sekali lagi, itu dianggap wajar-wajar saja.

Pada titik inilah, sebenarnya RT/RW bisa berperan besar mencegah ataupun meminimalkan hal-hal seperti itu. Sebagai perpanjangan tangan institusi Pemerintah Daerah, adalah pengurus RT/RW yang dalam keseharian, benar-benar dekat dengan titik-titik terjadinya penyimpangan tersebut. Secara kasat mata, bukankah pengurus RT/RW yang paling dulu mengetahui adanya pendirian bangunan komersial di kawasan permukiman, rumah yang dibangun bertingkat banyak dan menyalahi Izin Mendirikan Bangunan  (IMB), dan lain-lain?

Dalam lingkup ini, peran RT/RW tidak diberdayakan oleh Pemerintah Daerah. Yang lebih diandalkan untuk mengawasi hal-hal seperti itu, aparat seperti Dinas Tata Ruang, yang jumlahnya terbatas. Padahal, dengan keterbatasan itu, bukankah sebenarnya dinas tersebut bisa meminjam tangan pengurus RT/RW dalam mencegah penyimpangan?

Efek yang dipetik dari pengawasan seperti itu bisa lebih apik karena berlandaskan ke kaki, tangan, mata, telinga, dan hidung, yang dekat dengan “TKP” terjadinya penyimpangan ataupun potensinya. Kalau hal ini terjadi, sebuah sinergi manis antara Pemerintah dengan lembaga sosial yang mengakar di masyarakat Indonesia, terjadi. Dan lembaga sosial itu bangkit dari sekadar pelaksana fungsi administratif seperti membuat surat pengantar pengurusan KTP, menjadi partner pengawasan tata ruang.

Namun, memang sinergi seperti itu bukan hal mudah. Sebab, memang sudah lama fungsi-peran lembaga sosial di Indonesia—bahkan dunia—direduksi menjadi ala kadarnya oleh kekuatan dahsyat kapitalisme dunia. Pola hubungan sosial antar-individu pun bergeser dari berbasis ikatan emosional, menjadi berbasis ikatan kontraktual/kepentingan.

Tidak heran bahwa, di sebuah kompleks perumahan, antar-penghuni kurang saling mengenal. Pasalnya, ikatan emosional di situ sudah terpinggirkan, berganti menjadi ikatan kontraktual/kepentingan. Seseorang tinggal di perumahan X, tapi titik berat interaksinya adalah sebagai pekerja profesional—ataupun profesi lain—di kawasan Y. Tak heran bahwa kepengurusan RT/RW kurang berperan dalam relasi sosial selain sekadar dalam lingkup urusan administratif kependudukan. Bahkan, interaksi utama pengurus RT/RW bukan di lingkungan rumahnya, tapi di lingkungan profesinya—sangat mungkin begitu.

Akan tetapi, kembali  bertolak ke gagasan segar Ibnu Tadji H.N., bukankah sebenarnya RT/RW sejatinya belum lumpuh sama sekali dalam masyarakat Indonesia? Bukankah, di saat Idul Fitri ataupun Natal, profesional papan atas di Jakarta masih banyak yang merasa perlu berkumpul dengan keluarga besar? Dan bukankah hal ini menandakan masih dibutuhkannya relasi berbasis hubungan emosional di masyarakat kita? Dus, itulah modal dasar bagi kita untuk bergulirnya revitalisasi ataupun penguatan peran RT/RW dalam pengawasan sektor properti di Indonesia.

Bola untuk hal itu, rasanya, ada di tangan Pemerintah Daerah. Tatkala aparat, misalnya, mengeluarkan payung hukum—jika diperlukan—untuk mengintensifkan pengawasan penyimpangan di sektor properti perkotaan, revitalisasi itu barangkali bisa lebih meluncur cepat. Bukankah pada hakikatnya, masyarakat kita berkarakter paternalistik sehingga sebuah perubahan mesti bergulir dari atas agar efektif? Benar?

*Penulis, Achmad Adhito, adalah Jurnalis Sekaligus Pemerhati Sektor Properti; Alumnus Program Studi Sosiologi di FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Iklan