Banjir dan Informasi Geospasial*

Oleh: Budi Santoso
Oleh: Budi Santoso

L’histoire se repete. Ungkapan ini barangkali tepat untuk menggambarkan banjir di Jakarta. Ya, sejarah yang selalu berulang. Peristiwa banjir kerap mendera ibukota hampir setiap tahun, bahkan dalam skala besar beberapa kali terjadi, yakni tahun 1621, 1654, 1872, 1909, 1918, 2002, 2007 dan 2013.

Dalam bukunya berjudul Batavia Kota Banjir (2009), budayawan Alwi Shahab mengungkapkan banjir paling besar di era kolonial pada 1872, yang menyebabkan sluisbrug (pintu air) di depan masjid Istiqlal sekarang, jebol. Ketika itu Ciliwung meluap dan merendam pertokoan serta hotel di Jl. Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk. Begitu pula Harmoni, Rijwijk (Jl. Veteran) dan Noordwijk (Jl. Juanda) tidak dapat dilalui kendaraan.

Sejarah pun kembali terulang 141 tahun kemudian. Gubernur Jokowi baru saja menjabat dua bulan langsung diberi “kado” tahun baru 2013 berupa tanggul Latuharhary ambrol, sehingga pusat bisnis Jl. MH Thamrin – Jl. Sudirman dan Istana Negara lumpuh terendam air, serta dua karyawan meninggal karena terjebak limpasan banjir yang masuk ke basement Gedung UOB. Menurut sang gubernur, kerugian akibat banjir 2013 diperkirakan Rp 20 triliun dan 28 korban jiwa (id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Jakarta2013). Apakah banjir 2014 lebih buruk dari tahun lalu? Kita tunggu saja beritanya.

Kondisi Rupabumi
Penyebab banjir di Jakarta memang begitu kompleks, dan semua komponen dapat menjadi variabel penyebab, mulai dari aspek kondisi rupabumi, alih fungsi lahan secara masif, curah hujan tinggi, “kiriman air” dari Bogor, pasang air laut (rob), buruknya drainase, perilaku warga membuang sampah sembarangan dan sebagainya. Yang ingin diulas kembali di sini ialah soal kondisi rupabumi.

Pertama, ternyata sekitar 40 persen wilayah Jakarta yang berluas 65.000 hektar mempunyai topografi rendah, berketinggian hanya 1–1,5 meter di bawah muka laut pasang. Selain itu, sebagian tanahnya merupakan rawa dan aluvial yang relatif kedap menyerap air di atasnya.

Ada hal menarik dalam konteks ini, di mana seorang penulis Amerika Serikat yang pernah bertugas pada kantor penerangan (USIS) di Jakarta, ketika menulis tentang kota ini, menyalahkan pendiri Batavia Jan Pieterzoon Coen (1587–1629), karena mendirikan kota di atas rawa-rawa. Kalau saja Coen bijaksana dan memilih tempat lebih tinggi tentu alur sejarahnya akan berbeda.

Dengan “kebijakan yang keliru” tersebut, selama pemerintahan Hindia Belanda terdapat 66 gubernur jenderal yang silih-berganti berkuasa, tetapi tidak satu jua mampu mengatasi masalah banjir. Hal ini terus berlanjut kepada para gubernur setelah Indonesia merdeka.

Kedua, Jakarta itu dikelilingi oleh 13 sungai/kali, kebanyakan berhulu di Selatan yang terkenal sebagai “Kota Hujan”, dan seluruhnya bermuara di bagian Utara (Teluk Jakarta). Ketiga belas sungai itu adalah: Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, Kali Krukut, Kali Baru/Pasar Minggu, Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jatikramat dan Kali Cakung.

Jika di banyak tempat sungai merupakan berkah, tetapi di “Tanah Betawi” justru dituding sebagai sumber bencana banjir. Sebenarnya yang salah bukan sungainya, tetapi ulah manusianya. Banyak penduduk menjadikan sungai sebagai bak sampah raksasa, daerah aliran sungai (DAS) menjadi lenyap karena berubah fungsi jadi permukiman, dan kelalaian pemerintah melakukan pengerukan (normalisasi) secara berkala. Itu semua menyebabkan sungai-sungai menjadi terganggu, kemudian membalaskan amarahnya dalam bentuk luapan banjir yang sulit terkendali.

Kondisi-kondisi rupabumi tentunya bisa berubah karena ekspansi dan eksplorasi oleh manusia. Sungai yang dulu lebar dengan aliran yang lancar, misalnya, sekarang menyempit dan tersendat. Atau dulu rawa dan hutan bakau, kini berubah jadi kawasan perumahan mewah. Oleh karena itu, ilmu dan teknologi dapat berperan dalam mengamati perubahan terjadi sebagai upaya mengantisipasi dan mencari solusi.

Pentingnya Informasi Geospasial
Dalam Tajuk Rencana “Jakarta Melawan Banjir” di harian Kompas (13/11/2013), satu hal penting dinyatakan, bahwa Jakarta melawan dan mengalahkan banjir tidak bisa sendirian. Empat daerah penyangga (Bogor–Depok–Tangerang–Bekasi), bahkan Cianjur yang biasa “mengirim air bah”, perlu bekerja sama.

Syukurnya, hal ini kemudian dikongkritkan melalui kesepakatan antara Kementerian Pekerjaan Umum, Gubernur DKI Jakarta, Wakil Gubernur Banten, Bupati Bogor, Bupati Tangerang untuk membuat proyek waduk di Bogor dan sodetan Ciliwung–Cisadane (Kompas, 25/01/2014). Hanya sayangnya, proyek waduk masih menggulirkan kontroversi, dan proyek sodetan dibatalkan.

Kenapa ini bisa terjadi? Apabila diselisik lebih cermat, sebelum memutuskan suatu rencana sebenarnya pertama-tama diperlukan ialah data keruangan di wilayah masing-masing yang diolah secara lengkap, akurat dan tidak berbeda. Data keruangan ini sangat penting sebelum suatu kebijakan diambil dan dipublikasikan. Kekeliruan JP Coen kemungkinan besar disebabkan oleh tidak diperolehnya data keruangan memadai mengenai Batavia pada saat itu. Dalam perspektif kekinian, data keruangan tersebut bernama informasi geospasial, yang hasilnya merupakan modifikasi dari perkembangan ilmu dan teknologi.

Menurut UU No.4/2011 tentang Informasi Geospasial pasal 1, yang dimaksud informasi geospasial (IG) adalah data geospasial yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantú dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian.

Lebih lanjut dalam penjelasannya disebutkan, IG sangat berguna sebagai sistem pendukung pengambilan kebijakan dalam rangka mengoptimalkan pembangunan di berbagai bidang, termasuk dalam penanggulangan bencana. Banjir yang kini terjadi di banyak tempat di tanah air merupakan bencana yang menyedihkan. Apalagi banjir Jakarta juga dapat dikategorikan sebagai bencana selalu berulang, tetapi penanggulangannya selalu tidak tuntas.

Pertanyaannya, sudahkah IG dimanfaatkan dan diberdayakan? Inilah problemanya. Mungkin banyak kepala daerah yang tidak tahu dan bingung apa yang dimaksud IG. Selain undang-undang yang terkait dengan ini masih relatif baru diterbitkan, juga keberadaan Badan Informasi Geospasial (BIG), atau dahulunya Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), belum dikenal publik secara luas. Pemanfaatan jasa/produk yang dihasilkan BIG hanya kalangan terbatas saja. Banyak pemerintah daerah yang belum mau memanfaatkan atau bekerjasama dengan BIG dalam pengembangannya, termasuk dalam penerapan kebijakan satu peta (one map policy).

Dengan mengingat begitu pentingnya fungsi IG dalam banyak hal, termasuk dalam penanganan masalah banjir, maka pemerintah daerah perlu membentuk suatu unit khusus mengurusi dan memberdayakan IG. Unit ini bisa disebut sentra geospasial (geospatial center). Gubernur Jokowi atau kepala daerah lainnya dapat meminta dan memperoleh data/informasi dari unit tersebut sebelum memutuskan kebijakan-kebijakan strategis apapun yang berdampak kepada masyarakat. Jadi, dalam pengambilan keputusan semestinya didasarkan pada alat bantú berupa IG yang dijamin lebih valid, akurat, obyektif, komprehensif, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Perlu disadari oleh semua pihak, bahwa di banyak negara maju penggunaan IG (atau dalam bahasa awam sebagai peta canggih) sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam membuat perencanaan dan kebijakan guna menuju kesejahteraan. Saat ini mulai populer sebuah motto berbunyi begini: no map, no plan, no investment, no money, no growth, no prosperity.

*Penulis, Budi Santoso, adalah Pengamat Properti sekaligus Ketua Yayasan Bina Profesi Swatama. Ia mantan trainer di LJ Hooker Indonesia dan Tenaga Ahli Bidang Perumahan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta.

Kolom  Ini Pernah Dimuat di Harian Kompas

Iklan

Ingat, Logika Pasar Properti Bisa Jungkir Balik!* (Bercermin dari Survei Bank Indonesia)

Foto: Istimewa
Foto: Istimewa

Hari ini, penulis ingat bahwa Survei Properti Residensial yang sering dilansir Bank Indonesia, sering memuat banyak informasi menarik. Dan isinya banyak menjungkirbalikkan asumsi mendasar yang dipercaya praktisi industri properti.
Apa contohnya? Ada beberapa. Pertama, antara lain, sering diungkapkan oleh survei tersebut bahwa kota besar dengan pertumbuhan harga properti hunian sekunder tertinggi, bukanlah di Pulau Jawa. Melainkan kota besar di pulau lain seperti Manado.

Maka, kalau beranggapan bahwa investasi properti paling menguntungkan yakni di Jakarta dan sekitarnya, kita kalau mengacu ke survei tersebut harus berkata tegas: “Itu tidak sepenuhnya tepat.” Dalam hal itu, asumsi yang dipakai praktisi ternyata tidak selalu tepat. Dan, telah dijungkirbalikkan oleh sebuah survei keluaran Bank Indonesia.

Jungkir Balik di Jakarta
Itu adalah jungkir balik secara nasional. Di tingkat Jakarta, survei tersebut lagi-lagi melakukan penjungkirbalikkan yang mencengangkan. Persisnya seperti apa? Oke, baiklah, pertama kali, silakan klik link berikut ini

http://www.bi.go.id/id/publikasi/survei/harga-properti-sekunder/Pages/shpr_sekunder_tw313.aspx

Itu survei tentang harga properti hunian (residensial) sekunder di Jakarta, di kuartal ketiga 2014. Sejauh ini, Bank Indonesia belum memublikasikan hasil untuk kuartal keempat 2014 ataupun kuartal pertama 2015; maka, kita cermati saja yang kuartal ketiga 2014 itu.
Fakta mencengangkan, ada beberapa di situ. Pertama, di kawasan manakah yang harga lahannya naik tertinggi? Barangkali, kita menjawab bahwa itu yakni kawasan emas seperti Central Business District Sudirman (CBD Sudirman), Menteng, Kebayoran Baru, Pluit, Kelapa Gading, dan lain-lain.

Namun ternyata, survei itu tidak memuat begitu. Ada dijelaskan bahwa kenaikan harga lahan tertinggi ada di Jakarta Selatan: 4,34% dibandingkan di kuartal kedua 2014. Dan lokasi dengan kenaikan harga lahan tertinggi bukanlah Kebayoran Baru ataupun Pondok Indah yang kondang sebagai lokasi emas di Jakarta Selatan. Namun di Kecamatan Pancoran (4,98%) dan Kecamatan Kebayoran Lama (4,73%). Tidakkah ini cukup mengherankan?

Buat pengembang properti hunian ataupun komersial, dua lokasi itu bisa dikatakan tidak terlalu favorit. Pengembang kompleks town house (rumah bandar) lebih banyak mencari lahan skala kecil di kawasan seperti Pejaten, Mampang, dan Ciganjur. Bukan di Pancoran ataupun Kebayoran Lama. Pula, pencari rumah sekunder via jasa broker properti, lebih banyak mengincar Kecamatan Tebet, sang tetangga Kecamatan Pancoran.

Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa logika dasar ataupun asumsi pasar properti sekunder, berjalan di luar yang lazim. Rumus pasar berbunyi, tatkala permintaan kencang sementara pasokan sedikit, harga akan naik tajam. Di Kecamatan Tebet, permintaan rumah sekunder sangat mungkin lebih kencang daripada Kecamatan Pancoran ataupun Kebayoran Lama. Lantas hasilnya? Kenaikan harga lahan di Kecamatan Tebet tertinggal—setidaknya untuk kuartal kedua 2014.

Asumsi para pembeli ataupun investor properti, tidak sepenuhnya tepat—untuk tidak mengatakan ‘keliru’. Mereka yang mencari rumah sekunder untuk ditinggali ataupun dijadikan instrumen investasi, mungkin melirik kawasan Kebayoran Baru, Pondok Indah, dan Kelapa Gading, dengan asumsi bahwa setelah beberapa waktu, harga lahannya naik lebih tinggi daripada kawasan lain. Tepatkah? Jawabannya sudah kita singgung sebelumnya.

Di saat logika pasar ternyata berjalan di luar kelaziman, bagaimana kita mesti bersikap? Nah, mungkin ada baiknya mencermati hukum pasar yang lain. Bahwa psikologi konsumen/pasar, mungkin perlu dicermati. Persisnya, manakala harga sebuah produk (lahan) sudah terlalu tinggi, sangat mungkin konsumen tidak lagi mau mengeluarkan dana ke situ, dan memilih alternatif lain.

Apakah mungkin itu yang terjadi sehingga kini pencari hunian sekunder lebih banyak singgah ke Kecamatan Pancoran ataupun Kebayoran Lama? Inilah yang menarik untuk kita cermati di waktu-waktu mendatang.

Sekadar tambahan, Survei Bank Indonesia itu pun menjelaskan bahwa, dalam hal kenaikan keseluruhan harga properti (lahan dan bangunan), kenaikan tertinggi diprediksi terjadi di Menteng (4%) untuk kuartal keempat 2014. Bukan di Kecamatan Pancoran ataupun Kebayoran Lama. Tapi bukankah yang selalu naik itu harga lahan, bukan harga bangunan? Maka, bagaimanapun, penjungkirbalikkan logika harga lahan di kuartal ketiga itu, cukup mencengangkan kita.

Terakhir, metode penarikan sampel dari sebuah survei, mungkin bisa dipertanyakan. Misalnya, tatkala penarikan sampel kurang akurat dan kurang representatif, hasil survei pasti kurang mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya. Hal serupa bisa dipertanyakan ke Survei Bank Indonesia itu.

Hanya saja, penulis meyakini bahwa survei hunian itu jauh lebih steril dari kepentingan dibandingkan survei jelang pemilihan eksekutif daerah ataupun nasional, yang acap sarat kepentingan politik. Maka hasil survei hunian itu layak dijadikan acuan.

Itu pendapat penulis, dan mungkin saja pembaca berpikiran lain, bukan?

*Penulis, Achmad Adhito, adalah Wartawan di Majalah Indonesia Housing (www.indonesia-housing.com). Menulis buku ‘Jangan Ambil KPR Sekarang’ dan ‘Lokasi Emas Properti’ Bersama Pakar Properti Budi Santoso.

Tulisan Ini adalah Pendapat Pribadi