Apartemen Bagi Orang Asing*

Sumber Ilustrasi: Istimewa
Sumber Ilustrasi: Istimewa

Wacana kepemilikan properti di Indonesia bagi orang asing kembali mengemuka ketika Wapres Jusuf Kalla dan Menkeu Bambang PS Brodjonegoro melontarkannya belum lama ini. Properti yang dimaksud mereka ialah unit apartemen mewah, bukan rumah tapak (landed house), dan itu sangat baik untuk membantu sektor properti.

Sebenarnya, wacana ini sudah bergulir sejak lama. Tepatnya awal 1990-an, di mana bisnis properti lagi tumbuh luar biasa (sebelum akhirnya crash tahun 1997), dan Akbar Tandjung menjabat Menpera. Karena kondisi memungkinkan, maka terbitlah PP N0.41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing, dan Permen Agraria/Kepala BPN No.7/1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing.

Intinya, kedua peraturan tersebut membolehkan kepemilikan properti bagi orang asing, asal dengan syarat dibangun di atas hak pakai (HP) atas tanah negara, dan bukan rumah sederhana. Untuk apartemen hanya bisa disewa maksimum 25 tahun. Namun, regulasi yang sudah ada tetap saja belum memuaskan para pelaku usaha (pengembang) maupun pembeli asing.

Dari sisi pengembang, jumlah pembeli asing tidak signifikan, karena kebanyakan mereka membangun apartemen itu di atas tanah hak milik (HM) maupun hak guna bangunan (HGB), bukan hak pakai (HP), sehingga sulit menjual kepada orang asing.

Sementara dari sisi pembeli asing, mereka khawatir dan merasa tidak aman, karena persyaratan jangka waktu kepemilikan hanya 10 tahun (kendati bisa diperpanjang kembali). Berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Australia dengan sistem strata-title di mana unit apartemen dapat dibeli orang asing, dan jangka waktu kepemilikannya mencapai 99 tahun.

Apa itu strata-title? Yaitu hak yang terpisah-pisah pada unit bangunan. Sementara dalam hukum di Indonesia tidak mengenal sistem strata-title. Hak atas tanah dan bangunan dalam rumah susun/apartemen, yaitu tanah-bersama, benda-bersama dan bagian-bersama merupakan satu-kesatuan yang tak terpisahkan.

Dengan peraturan-peraturan yang terbatas itu bukan berarti orang asing tidak berminat membeli properti. Antusias mereka masih tinggi. Sejumlah tempat seperti di Jakarta, Bali dan Batam sebenarnya banyak yang sudah membeli. Bukan saja apartemen. Ada yang dalam bentuk tanah, rumah, vila, kondotel, ruko/rukan. Bahkan sekitar 50 persen pembeli properti di Bali itu kabarnya oleh orang asing.

Hanya saja, mereka membeli atas nama teman, rekan bisnis atau suami/istri yang berwarganegara Indonesia (WNI). Pembelian seperti ini tentu berisiko, di mana sewaktu-waktu “dicurangi” akibat adanya perselisihan di antara mereka.

Oleh karena itu, sejumlah kalangan menyerukan kembali agar dilonggarkan regulasinya, khususnya apartemen mewah, mengingat dalam lima tahun terakhir pembangunan apartemen di kota-kota besar begitu masif. Pada awal 2015 ini jumlah apartemen/kondotel yang eksisting maupun pasokan baru tidak kurang dari 100.000 unit.

Keinginan para pengembang maupun Menkeu Bambang mengenai harapan tersebut lebih didasarkan pada aspek ekonomi dan bisnis. Kalau saja peraturan baru ada, barangkali ribuan unit apartemen akan terjual setiap tahunnya. Apalagi dengan memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berlaku mulai enam bulan ke depan, dan Pasar Bebas Global 2020.

Pada era itu banyak warga asing dari mancanegara yang bekerja atau menetap di sini, dan mereka butuh hunian permanen sebagai tempat tinggal dia dan keluarga. Kalaupun sudah membeli dan harus kembali ke negerinya, toh apartemen tidak bisa dibawa pulang, kecuali menjualnya kepada orang lain, baik WNI maupun bukan WNI.

Lalu, apakah negara akan diuntungkan? Tentu saja, terutama dari pajak pertambahan nilai (PPN), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan pajak pertambahan nilai barang mewah (PPnBM) yang totalnya 35 persen. Misal, dalam setahun terjadi transaksi pembelian sebanyak 5 ribu unit apartemen seharga Rp 5 miliar per unit, maka pajak yang diterima negara sekitar Rp 8,75 triliun per tahun.

Belum lagi side-effect atas maraknya pembangunan properti (apartemen) pada peningkatan tenaga kerja, karena sektor properti berpengaruh langsung terhadap perusahaan kontraktor, konsultan teknik dan ratusan pabrik macam semen, pasir, batubata/celcon, cat, pipa, paku, besi, lampu, furnitur dan lainnya.

Tapi, apakah itu mungkin? Tampaknya amat sulit. Sebab, pemerintah dan DPR harus merevisi dulu UU No.5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan UU No.20/2011 tentang Rumah Susun. Kalaupun mau dipaksakan, bisa saja Presiden Jokowi menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) tentang orang asing dapat membeli apartemen mewah di negeri ini.

*Penulis, Budi Santoso, adalah Konsultan, Trainer, dan Kolumnis Senior di Beritarealestate.co

Iklan

Kini Saatnya Pencegahan Korupsi Terintegrasi*

Sumber Ilustrasi: Istimewa
Sumber Ilustrasi: Istimewa

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Hasil kasat mata yang diperlihatkan KPK ke masyarakat, tidak lagi perlu dipertanyakan. Tercatat, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh KPK berjalan ke berbagai lini. Itu sedari lembaga eksekutif di pusat ataupun daerah; legislatif; yudikatif di sejumlah tingkatan. Selanjutnya, Klik di Sini