
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Hasil kasat mata yang diperlihatkan KPK ke masyarakat, tidak lagi perlu dipertanyakan. Tercatat, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh KPK berjalan ke berbagai lini. Itu sedari lembaga eksekutif di pusat ataupun daerah; legislatif; yudikatif di sejumlah tingkatan.
Efek bola salju dari tindakan seperti itu diharapkan membesar. Jatuhnya vonis terhadap penyelenggara negara level atas ataupun sektor swasta terkait, tentunya diharapkan menimbulkan efek jera bagi calon pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.
Tetapi, di sisi lain, tindak pidana korupsi di Indonesia seperti tidak ada habisnya, patah tumbuh hilang berganti muncul di situ. Berdasarkan Corruption Perception Indexs 2014 dari Transparency International, Indonesia di peringkat 107 dari 175 negara; sesama negara Asean, Filipina, di posisi ke 85. Sementara, di tahun 2013, Indonesia ada di posisi 114. Maka, ada kenaikan, tapi belum terlalu signifikan.
Namun itu patut dipahami mengingat jumlah sumber daya manusia (SDM) di KPK yang bisa dikatakan sedikit. Lembaga tersebut hanya punya 100-an penyidik dari total SDM sebanyak 700-an.Perwakilan di daerah, sejauh ini, belum dipunyai oleh KPK. Belum lagi, dalam melangkah, KPK sedikit-banyak terdistorsi oleh hambatan politik yang mau-tidak harus ditemui.
Mencegah Tanpa Lupa Menindak
Bertitik tolak dari semua itu, kiranya pada periode kepemimpinan baru, pimpinan KPK perlu menjadi jurumudi yang menggerakkan awak kapal untuk semakin mengintensifkan sistem ‘pencegahan korupsi’ selain ‘penindakan pelaku korupsi’. Dalam hal ini, sudah tentu bahwa ‘pencegahan’ bukan berarti meniadakan atapun menafikan ‘penindakan’.
Di periode tersebut, mengingat terbatasnya jumlah penyidik ataupun keseluruhan SDM di KPK, perlu memanfaatkan infrastruktur pencegahan tindak pidana korupsi yang sudah dipunyai oleh banyak lembaga negara. Hal seperti ini, sangat jelas, punya payung hukum, dan juga merupakan satu dari sekian fungsi KPK.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, secara jelas memberikan kewenangan itu. Dalam Pasal 6 undang-undang itu, disebutkan sebagai berikut:
Pasal 6
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara
Selanjutnya, dalam Pasal 7 undang-undang itu, disebutkan sebagai berikut:
Pasal 7
Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. mengkoordinasikan penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan tindak pidana korupsi;
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Selanjutnya, kita perlu membahas Pasal 8 dari undang-undang itu:
Pasal 8
1. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
Dari situ, KPK telah punya payung hukum untuk bergerak lebih jauh dalam memaksimalkan ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi di Indonesia. KPK sangat perlu menjadi semacam mesin ekstra kuat bagi berjalan maksimalnya sistem ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi melalui infrastruktur pengawasan yang sebenarnya sudah ada.
Selanjutnya, dengan cara seperti itulah, sebuah ego-sektoral antara lembaga di Indonesia dalam ‘pencegahan’ tindak korupsi, bisa diminimalkan. Juga, friksi antar-lembaga tersebut dalam ‘penindakan’ tindak korupsi, sedikit-banyak akan berkurang karena adanya integrasi ‘pencegahan’ seperti itu oleh KPK.
Pada prinsipnya, infrastruktur itu sudah menempel di lembaga eksekutif, yudikatif, ataupun legislatif di Indonesia. Walhasil, tatkala berkoordinasi ataupun berintegrasi dengan dengan infrastruktur di tiga lini tersebut, peran KPK semakin meluas. Artinya, selain menjalankan ‘penindakan’ tindak pidana korupsi, tangan KPK pun dalam ‘pencegahan’ tindak pidana itu semakin mencakup wilayah yang luas, bukan berjalan parsial.
Lantas, persisnya, siapa saja infrastruktur pengawasan yang bisa dimanfaatkan KPK tersebut? Marilah kita membahas lebih lanjut beberapa contoh sebagai berikut.
1. Inspektorat Jenderal di Kementerian Negara
Di semua kementerian negara, ada inspektorat jenderal sebagai unsur pengawas yang bertugas menyelenggarakan pengawasan internal. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara, inspektorat jenderal tersebut menyelenggarakan fungsi:
i. penyusunan kebijakan teknis pengawasan internal;
ii. pelaksanaan pengawasan internal terhadap kinerja dan keuangan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya;
iii. pelaksanaan pengawasan untuk tujuan tertentu atas penugasan menteri;
iv. penyusunan laporan hasil pengawasan; dan
v. pelaksanaan administrasi inspektorat jenderal.
Bertitik tolak dari situ, KPK dapat dan bisa bergerak menggelar ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi secara lebih intensif, lewat koordinasi erat dengan inspektorat jenderal di puluhan kementerian negara. Dalam hal ini, menteri negara perlu memberikan dukungan erat terhadap koordinasi tersebut.
Dalam hal ini, dengan keterbatasan jumlah penyidik ataupun keseluruhan SDM-nya, KPK ibarat meminjam tangan orang lain yang berjumlah lebih banyak, untuk ‘pencegahan’ dini di tindak pidana korupsi; hal itu diabsahkan oleh regulasi yakni Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan korupsi.
Inspektorat Jenderal, selain berkoordinasi dengan KPK untuk ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi di lingkungan birokrasi, bisa merekomendasikan pemecatan ke aparatur birokrasi yang diketahui melakukan korupsi.
Dengan koordinasi yang intensif, erat, dan sinambung, KPK dan inspektorat jenderal puluhan kementerian negara berpotensi besar mewujudkan zona bebas korupsi setelah jangka waktu tertentu.
Untuk efek bola salju ataupun efek jera terhadap tindak pidana korupsi, di kasus-kasus besar dan menyita perhatian masyarakat, penyidik KPK bisa menyelidik, menyidik, dan menuntut berdasarkan rekomendasi ataupun temuan oleh inspektorat jenderal kementerian negara.
Lewat koordinasi dengan inspektorat jenderal dan tentunya menterinya, KPK telah memerpanjang tangan dalam ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi secara sistematis di puluhan kementerian dengan jutaan pegawainya. Itu tanpa perlu memerbanyak jumlah penyidik ataupun keseluruhan SDM di KPK secara signifikan.
Koordinasi itu sangat penting mengingat, sejauh ini, ada kecenderungan bahwa pergerakan ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi yang dilakukan KPK dan inspektorat jenderal kementerian negara, berjalan parsial ataupun kurang terintegrasi.
Dalam hal ini, KPK perlu hadir sebagai semacam mesin penggerak ataupun dinamisator bagi kencangnya ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi di puluhan kementerian negara.
2. Inspektorat Pengawasan Umum Kepolisian Negara RI
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) membawahkan sejumlah unsur pengawasan dan pembantu pimpinan ataupun pelayanan. Satu di antara itu adalah Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum).
Adapun fungsi Itwasum adalah membantu Kapolri mengawasi dan memeriksa umum, serta perbendaharaan dalam lingkungan Polri. Termasuk di situ adalah satuan organisasi nonstruktural yang ada di bawah pengendalian Kapolri.
Setiap Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) di Indonesia membawahkan Inspektorat Pengawasan Umum Daerah (Itwasda). Dengan kata lain, Itwasda merupakan unsur pengawasan dan pembantu pimpinan pada Polda yang berada di bawah Kapolda.
Di sini, KPK perlu berkoordinasi dengan Itwasum ataupun Itwasda dalam ‘pencegahan, dan mendeteksi sedari dini tindak pidana korupsi di badan Polri.
Seperti halnya dengan di Inspektorat Jenderal Kementerian Negara, KPK di sini berperan sebagai mesin penggerak ataupun dinamisator bagi Itwasum ataupun Itwasda tersebut.
Sebagai satu dari sekian banyak unsur lembaga yudikatif di Indonesia, sudah tentu Polri mesti menjadi role model nan baik bagi ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi di Indonesia. Berkoordinasi dengan Itwasum ataupun Itwasda, KPK bisa berperan mendorong Polri menjadi role model ‘pencegahan’ tersebut.
3. Jaksa Agung Muda Pengawas
Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung RI tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI; Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER-022/A/JA/03/2011 tentang penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan RI; Juklak Jaksa Agung Muda Pengawasan tentang Teknis Penanganan Laporan Pengaduan dan Tata Kelola Administrasi Bidang Pengawasan; wewenang jaksa agung muda pengawasan (jamwas) telah meluas. Dengan itu, jamwas bisa langsung menyidik seorang jaksa yang ditengarai berpersoalan tertentu. Jamwas bisa melakukan itu didului hasil pemeriksaan dan tentu atas persetujuan jaksa agung.
Tatkala berkoordinasi dengan jamwas, KPK bisa memerpanjang langkah ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi terhadap ribuan jaksa di Indonesia; berdasarkan data dari Pusat Riset Peradilan, jumlah jaksa di Indonesia tahun 2007-2008 sebanyak 3.721 orang sementara kebutuhannya di 2.776 orang.
4. Komisi Yudisial
‘Pencegahan’ tindak pidana korupsi oleh KPK, juga bisa bergulir via koordinasi ataupun integrasi dengan Komisi Yudisial. Sebab, adalah Komisi Yudisial yang punya otoritas mengawasi hakim di seluruh Indonesia.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, maka komisi itu punya wewenang sebagai berikut:
a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
c. menetapkan kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim
Selanjutnya, dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 itu, ada disebutkan bahwa, untuk menjaga-menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial bertugas:
a. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;
b. menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim;
c. melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, secara tertutup;
d. memutus benar atau tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim;
e. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
Selanjutnya , ada diatur pula bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.
Lebih lanjut, dijelaskan pula bahwa aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial tersebut.
Tatkala melakukan koordinasi dan integrasi dengan Komisi Yudisial, jelas bahwa KPK otomatis melakukan ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi terhadap 7.600-an hakim di Indonesia—jumlah ini berdasarkan keterangan pejabat Komisi Yudisial kepada media massa.
5. Badan Kehormatan DPR/DPRD
Badan Kehormatan DPR/DPRD merupakan salah satu alat kelengkapan dari lembaga legislatif. Itu berdasarkan Pasal 98 Ayat 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD.
Badan Kehormatan tersebut bersifat tetap. Jadi, bukan sekadar lembaga tidak tetap atau ad hoc seperti Dewan Kehormatan yang ada sebelumnnya.
Selanjutnya, Badan Kehormatan tersebut ada di DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Mengutip Penelitian Hukum tentang Efektivitas Putusan Badan Kehormatan DPR/DPRD, oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Nasional (Badan Pembinaan Hukum nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), Tahun 2011, dijelaskan tentang tugas dari Badan Kehormatan itu sebagai berikut:
a. mengamati, mengevaluasi disiplin, etika dan moral para anggota DPR dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan kode etik DPR;
b. meneliti dugaan pelanggar yang dilakukan anggota DPR terhadap peraturan tata tertib dan kode etik DPR serta sumpah/ janji;
c. melakukan penyelidikan, unifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan Pimpinan DPR atau masyarakat atau pemilih;
d. menyampaikan kesimpulan atas hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c sebagai rekomendasi untuk ditindak lanjuti oleh DPR;
e. menyampaikan rekomendasi kepada pimpinan DPR berupa rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti adanya pelanggaran yang dilakukan anggota DPR atas pengaduan pimpinan DPR, masyarakat dan atau pemerintah;
f. menyampaikan laporan atas keputusan Badan Kehormatan kepada pimpinan DPR;
g. dapat menjatuhkan sanksi kepada anggota DPR yang terbukti melanggar kode etik DPR;
h. Badan Kehormatan membuat laporan dirinya pada akhir masa keanggotaan.
Penelitian itu pun menjelaskan bahwa untuk melaksanakan fungsinya, Badan Kehormatan berwenang:
a. memanggil anggota yang bersangkutan untuk memberikan penjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan;
b. meminta keterangan pelapor, sanksi dan/atau pihak-pihak lain yang terkait, termasuk untuk meminta dokumen atau bukti lain.
Dijelaskan oleh penelitian itu bahwa kinerja Badan Kehormatan terdistorsi oleh sejumlah hal. Antara lain, anggotanya berasal dari internal lingkungan legislatif itu sendiri, bukan pihak independen dari eksternal.
Akan tetapi, sedikitnya, KPK lewat koordinasi/integrasi langkah dengan Badan Kehormatan itu, bisa mendorong optimalisasi ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi di lingkungan lembaga legislatif seluruh Indonesia.
Ada Peranti Lain
Sampai di sini, dapat dijelaskan bahwa bersama lembaga-lembaga pengawasan yang melekat di tubuh eksekutif, yudikatif, dan legislatif, KPK dapat bergerak bersama untuk memaksimalkan ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi. Juga, sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, KPK di waktu tertentu bisa mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, berdasarkan temuan yang ada dari lembaga-lembaga tersebut. Itu khususnya bila temuan itu memancing perhatian khayalak ramai, dan berpotensi kerugian besar bagi masyarakat ataupun negara.
Dari sini, efek bola salju berupa jera bagi pelaku tindak pidana korupsi, diharapkan membesar. Sebab, selain didasari temuan dari pengawas mereka an sich, terduga pelaku korupsi selanjutnya harus diselidiki, disidik, dan dituntut oleh KPK.
Selain mengoordinasikan ataupun mengintegrasikan langkahnya dalam ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi dengan lembaga-lembaga yang dicontohkan, KPK perlu mengintensifkan koordinasi dengan lembaga lain. Itu demi adanya payung hukum yang lebih memadai dalam ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi di Indonesia.
Berikut ini adalah lembaga-lembaga tersebut:
a. Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK)
Berdasarkan Pasal 40 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PPATK punya fungsi sebagai berikut:
i. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
ii. pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;
iii. pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor;
iv. analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain.
Kemudian, berdasarkan Pasal 41 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut, PPATK berwenang sebagai berikut:
i. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi; termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;
ii. menetapkan pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan;
iii. mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait.
Dari sini, selain mengoordinasikan langkah ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi dengan lembaga pengawasan yang sudah melekat di eksekutif, yudikatif, dan legislatif, KPK lantas berkoordinasi dengan PPATK untuk sinkronisasi langkah antara tiga lini. Dengan kata lain, KPK mengoordinasikan ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi antara KPK itu sendiri, lembaga-lembaga pengawasan internal tersebut, dan PPATK.
Lebih lanjut, dari situ, KPK ataupun lembaga pengawasan internal bisa mendapatkan akses mengenai data nasabah perbankan melalui PPATK; sejauh ini, hanya PPATK yang bisa mendapatkan akses tersebut tanpa terhalang aturan aturan tentang kerahasiaan bank.
b. Partai Politik
Sudah tentu, dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia, peran partai politik (parpol) sangatlah signifikan. Betapa tidak, dari parpol, muncullah orang-orang untuk duduk di kursi ekselutif dan legislatif melalui Pemilihan Umum (Pemilu) nasional ataupun daerah.
Maka dari itu, bagi KPK, sangatlah penting untuk selalu berkoordinasi dengan parpol dalam ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi. Dari Pemilu yang diikuti oleh calon legislatif (caleg) yang bersih dari setiap parpol, akan lahirlah badan legislatif dan eksekutif yang benar-benar bersih, dan lebih mudah mewujudkan Indonesia bebas korupsi.
Ada sejumlah mekanisme/proses yang bisa ditempuh KPK dan parpol untuk hal tersebut. Antara lain, membuat nota kesepahaman tentang adanya pelaporan berkala tentang kekayaan caleg atau bahkan semua kader parpol.
Usai itu, KPK lantas mengintegrasikan hasil pelaporan itu dengan PPATK, untuk mencermati ada atau tidaknya transaksi keuangan mencurigakan. Bila ada temuan tentang transaksi seperti itu dari PPATK, KPK bisa memberikan rekomendasi kepada parpol untuk adanya tindakan lebih lanjut kepada caleg ataupun kader pemilik rekening tersebut.
Hampir 100% dapat dipastikan bahwa setiap parpol di Indonesia di dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga, melarang tindak pidana korupsi—sekalipun pencantuman tentang itu banyak yang masih normatif. Bentuk lain dari hal itu adalah penandatanganan pakta integritas.
c. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 23 Ayat 5, untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara, diadakanlah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. BPK merupakan lembaga tinggi negara yang berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Adapun yang menjadi target pemeriksaan BPK, berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, adalah sebagai berikut: Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan lembaga/badan lain yang mengelola keuangan negara.
KPK perlu memererat hubungan dengan BPK untuk mendorong ataupun memaksimalkan ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi dalam penyelenggaran keuangan negara. Temuan audit dari BPK, dengan pertimbangan tertentu, bisa digunakan KPK sebagai bahan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
d. BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan)
Landasan hukum tugas BPKP adalah Pasal 52 Keputusan Presiden RI Nomor 103 Tahun 2011, sebagaimana telah diubah beberapa kali. Terakhir kali, dalam Peraturan Presiden RI Nomor 3 Tahun 2013, ada dinyatakan bahwa BPKP bertugas tertentu, yang dituangkan dalam Keputusan Kepala BKPP Nomor Kep-06.00-286/K/2001. Lantas, setelah beberapa kali lagi pengubahan, lahirlah Peraturan Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor 13 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan BPKP.
Dari situ, dapat dijelaskan tugas BPKP sebagai berikut:
1. Melaksanakan pengawasan internal terhadap akuntabilitas keuangan negara dan/atau daerah atas kegiatan yang bersifat lintas sektoral;
2. Melaksanakan kegiatan pengawasan kebendaharaan umum negara;
3. Melaksanakan kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden dan atau permintaan Kepala Daerah;
4. Melaksanakan pembinaan penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) pada wilayah kerjanya;
5. Menyelenggarakan penyelenggaraan dan pelaksanaan fungsi lain di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Memang, dilihat dari tugas pokok, fungsi, dan wewenangnya, BPKP dan BPK nyaris sama. Bedanya, BPK mengawasi eksternal sedangkan BPKP secara internalal. Terlepas dari hal itu, jelas bahwa KPK perlu mengintegrasikan ataupun berkoordinasi dengan BPKP dalam ‘pencegahan’ tindak pidana korupsi secara menyeluruh di Indonesia.
Kesimpulan dan Saran
Setelah beberapa tahun berdirinya KPK, dan ‘penindakan’ tindak pidana korupsi berjalan melahirkan efek jera, adalah sangat perlu bagi periode berikutnya kepengurusan KPK, mengintensifkan tindak ‘pencegahan’. Kombinasi efek jera dari ‘penindakan’ dengan ‘pencegahan’, sangat berpotensi memangkas tajam angka tindak pidana korupsi di Indonesia.
Dalam hal itu, ‘pencegahan’ tersebut perlu berjalan terintegrasi dengan infrastruktur pengawasan yang sudah ada di banyak lembaga. Adalah benar bahwa, sejauh ini, lembaga seperti itu perannya terdistorsi karena keanggotaannya diisi oleh kalangan internal.
Akan tetapi, dengan hadirnya KPK sebagai dinamisator, bukankah distorsi itu bisa dipangkas banyak? Di samping itu, integrasi seperti itu diharapkan meminimalkan resistensi terhadap upaya KPK mengurangi angka tindak pidana korupsi. Sebab, tidak ada lagi pimpinan lembaga yang merasa ‘dilewati’ ataupun ‘dilangkahi’ mengingat koordinasi sudah bergulir sedari awal.
Upaya ‘pencegahan’ terintegrasi itu perlu disertai target yang jelas dan rinci. Misalnya, dalam integrasi itu, seberapa banyak nilai proyek pengadaan barang/jasa bernilai besar, yang perlu diefisienkan atau dihemat?
Selain itu, adalah penting untuk memerhatikan sistem remunerasi yang baik dan memadai, selain menjalankan ‘pencegahan’ terintegrasi itu. Dengan demikian, dalih bahwa korupsi berlangsung karena gaji dan fasilitas yang tidak memadai, tidak lagi relevan.
Mengingat terbatasnya anggaran Pemerintah Pusat atau juga Pemerintah Daerah, metode ‘tipping point’ perlu dijalankan KPK. Dalam arti, lembaga yang telah menerapkan sistem remunerasi yang memadai dan baik, bisa menjadi lokasi pilot project ‘pencegahan’ terintegrasi itu. Dari situ, barulah bergulir intensif ke wilayah yang lainnya.
*Penulis, Achmad Adhito, adalah kolumnis real estat di Berita Real Estate/Yayasan Bina Profesi Swatama. Juga, redaktur Pelaksana di Majalah Indonesia Housing. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
Untuk momen tertentu yang tengah menarik perhatian publik, situs internet ini dimungkinkan memuat kolom/opini di luarn sektor properti.