Mencari Bingkai Bening Reklamasi Pantai Jakarta*

Sumber Ilustrasi, Istimewa

 

Oleh Achmad Adhito**

Beberapa waktu setelah terpilihnya gubernur baru DKI Jakarta untuk periode 2017-2022, isu reklamasi di pantai Jakarta, kembali bergema cukup kencang. Gubernur terpilih, secara jelas menyatakan menghentikan proyek reklamasi, ataupun mengalihfungsikan sebagian pulau yang telah dibentuk, untuk fungsi lain.

Langkah ini mengundang respons dari pemerintah pusat atau juga sebagian kalangan bisnis.

Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari semua itu:

1. Harus dikatakan bahwa reklamasi tersebut mengandung berbagai dimensi. Ada dimensi politik, ideologi, hukum, ekonomi, sosial-budaya.

Semua dimensi itu, pada kenyataannya, telah menjadi sebuah bauran tersendiri yang rumit. Dan membingungkan kita semua untuk mencari bingkai proporsi yang tepat.

2. Adalah sangat perlu, untuk mendudukkan reklamasi pada proporsi yang tepat dan menimbang bauran emua dimensi itu. Dengan demikian, arah penyelesaian yang diambil membawa kesepakatan tingkat tinggi.

3. Saat ini, bisa dikatakan bahwa sebagian publik diherankan oleh isu reklamasi ini. Benar, bahwa sempat ada ketidaktertiban di sebagian proyek reklamasi itu. Tapi apakah lantas itu menjadi dasar mutlak untuk penyetopan total sementara ada sejumlah manfaat yang diharapkan dari reklamasi itu?

Perlu diingat bahwa, pembentukan pulau reklamasi, hanya sebagian kecil dari rencana besar pemerintah pusat untuk melindungi Jakarta dari ancaman banjir dan kekurangan pasokan air baku bersih di masa mendatang.

Maka, perlu dicermati, yang akan distop oleh pemerintahan baru DKI Jakarta, terbatas di pulau reklamasi? Ataukah termasuk juga di pengadaan tanggul raksasa untuk mengurangi ancaman banjir di masa mendatang dan untuk menyediakan pasokan air baku bersih itu?

Sebagian publik—termasuk penulis analisis ini—diherankan dengan ketidaksepakatan yang terjadi di dalam tubuh pemerintahan pusat dengan pemerintah daerah.

Sebenarnya, pengembangan pantai Jakarta itu wilayah hukum siapa? Pemerintah pusat ataukah daerah? Bila itu sudah diputuskan di tingkat pusat, apakah daerah lantas harus mengikuti dengan menjabarkan ke bentuk peraturan daerah, tata ruang daerah secara detil, dan sejenisnya?

Atau, apakah dalam hal itu, pemerintah daerah punya hak untuk mementahkan keputusan dari pemerintah pusat?

Ketidakjelasan hukum seperti ini perlu dicarikan jalan keluarnya sejernih mungkin dan seproporsional mungkin. Dan hal itu, sekali lagi, harus dilakukan dengan menimbang semua dimensi yang telah disebutkan di atas.

Ada baiknya, tidak terjadi lagi bahwa ketidaksepakatan penafsiran dan implementasi hukum di pemerintahan, menjadi adegan yang membingungkan publik.

Perlu dicermati, dimensi mana yang harus menjadi panglima tertinggi? Lantas, dimensi mana yang harus menjadi komponen penunjang , yang berarti tidak dinafikan?

Di sisi lain, harus dikatakan pula bahwa adanya masyarakat kecil yang berkemungkinan terenyahkan ataupun dirugikan oleh berlanjutnya reklamasi, tidak bisa dianggap ringan.

Hal ini tentu menjadi kewajiban mutlak bagi semua pihak, untuk mencarikan jalan keluar.

Hal seperti ini perlu dikelompokkan sebagai dimensi sosial-budaya, yang tidak boleh dipinggirkan dalam upaya mencari jalan keluar tersebut.

Akhir kata, bagaimana arah reklamasi di pantai Jakarta untuk selanjutnya? Seperti biasa, sang waktu, akan menjawab untuk kita.

 

*Tulisan Ini Merupakan Pendapat Pribadi

**Wartawan BusinessNews Indonesia, Kolumnis Properti, serta Tenaga Ahli di Direktorat Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR RI.

Iklan

Tinggalkan Komentar Anda

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s