Well, ranah politik Indonesia terus menghangat belakangan ini terkait Pemilihan Umum Tahun 2014. Belakangan, capres (calon presiden) ataupun cawapres (calon wakil presiden) hangat menggeber visi ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Adalah cukup menggembirakan bahwa, di tiap pasangan, napas ekonomi kerakyatan cukup santer ditiupkan dalam berbagai bentuk. Sedari keinginan merevitalisasi sektor pertanian, meningkatkan kedaulatan sektor energi, menggenjot pembangunan berbasis daerah/desa, dan lain-lain.
Di sela itu, sayangnya, sektor perumahan rakyat masih cenderung terabaikan—menurut pandangan penulis, mohon maaf sebesarnya-besarnya bila keliru. Sementara, angka backlog (kekurangan pasokan) perumahan di 15-an juta unit, sungguh bukan perkara enteng. Dari 250-an juta jiwa penduduk Indonesia, bukankah angka 15 juta itu sudah melebihi 5%-nya?
Apalagi, seperti dilansir pengamat properti dari Indonesia Property Watch Ali Tranghanda, ‘papan’ adalah kebutuhan dasar masyarakat selain ‘pangan’ dan ‘sandang’. Dus, di pemerintahan 2014-2019, selayaknyalah bahwa sektor ini tidak terabaikan lagi.
Terlepas dari itu, adalah menarik untuk mengalkulasi sosok ideal menteri perumahan rakyat RI 2014-2019. Sebab, di tangan beliaulah tongkat komando pembenahan sektor perumahan rakyat berlangsung.
Oke, Anda tepat, memang sejauh ini belum terlihat bahwa pemerintahan 2014-2019 bakal memberi otoritas lebih memadai kepada menteri perumahan melalui perombakan struktur kementerian/lembaga negara—misalnya melalui keberadaan kementerian koordinator perumahan rakyat, dan lain-lain. Tapi, meneropong kemungkinan seperti apa figur ideal menteri perumahan rakyat, sangatlah penting.
Sejauh ini, ada kecenderungan bahwa kultur politik transaksional dan format politik dualistik (kerancuan antara sistem presidensial dengan parlementer) masih akan “menyandera” presiden RI dalam memilih menteri, termasuk sang menteri perumahan.
Dalam arti, besar kemungkinan bahwa presiden RI 2014-2019 tidak sekadar menimbang aspek kompetensi, integritas, dan loyalitas seseorang, dalam menunjuk seseorang sebagai menteri perumahan. Akan tetapi, mau atau tidak dan mungkin dengan berat hati, presiden kita harus memertimbangkan rekomendasi ataupun kepentingan peserta koalisi dalam penunjukan itu.
Pada titik inilah, memang sedikit-banyak, kepentingan sektor perumahan dikorbankan. Bayangkanlah, sang presiden berniat menunjuk figur A sebagai menteri perumahan mengingat dari segi kompetensi, integritas, dan loyalitas, figur A ada di peringkat pertama. Namun, karena sudah banyak dibantu oleh peserta koalisi, presiden mesti mengalihkan pandangan ke figur B.
Nah, bisa saja, dari tiga komponen itu, tidak semua dipenuhi oleh figur B—ataupun,pemenuhannya tidak sebaik figur A. Akan tetapi, menjaga soliditas koalisi pemerintahan, figur B harus ditunjuk.
Munculnya figur B tentunya dengan mengorbankan kecepatan akselerasi sektor perumahan rakyat; di sisi lain, pola seperti ini menjaga soliditas pemerintahan 2014-2019 karena goncangan dari parlemen terhadap pemerintahan diredam melalui sebuah proses politik transaksional.
Di sini, kita bertanya-tanya: dengan kondisi itu, akankah figur menteri perumahan 2014-2019 benar-benar jauh dari ekspektasi sektor perumahan rakyat? Mungkin saja tidak. Presiden RI masih mungkin mencari celah atapun titik tengah nan manis dalam mencari figur menteri tersebut.
Artinya, sekalipun tersandera oleh rekomendasi peserta koalisi, presiden bisa tetap meneropong figur yang paling mendekati tiga poin itu (kompetensi, integritas, loyalitas).
Sekarang, marilah kita melongok isi koalisi di pemilihan presiden RI. Di tubuh tiap koalisi, ada banyak figur yang mampu mendekati atau memenuhi tiga poin itu. Andai terpilih, duet Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebenarnya dikelilingi sejumlah figur dari tubuh peserta koalisi yang pas duduk di posisi menteri perumahan rakyat.
Demikian pula, bila terpilih, duet Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah punya stok dari koalisi yang mantap memegang tongkat komando menteri perumahan rakyat.
Mungkin nama yang persis tidak perlu disebutkan. Tapi yang jelas, figur-figur tersebut punya pengalaman praktis nan panjang dalam sektor perumahan. Juga, telah banyak terlibat langsung dalam memerjuangkan nasib sektor tersebut melalui asosiasi, parlemen, media massa, dan lain-lain.
Dan yang terpenting: mereka saat ini sudah ada di ‘anggota tubuh’ koalisi tersebut. Maka, bila sang presiden menunjuk mereka, otomatis bahwa ‘penumbalan’ sektor perumahan rakyat demi kepentingan koalisi, bisa dikurangi. Tentu, semua orang akan sepakat bahwa dalam menunjuk menteri sebagai pembantu teknis, sang presiden wajib tetap menomorsatukan tiga poin itu sekalipun harus memertimbangkan kemauan peserta koalisi.
Sampai di sini, berbekal figur mumpuni di posisi menteri perumahan rakyat, selanjutnya merupakan pekerjaan rumah berat bagi presiden RI untuk mem-back up total sang menteri demi percepatan akselerasi sektor tersebut.
Apakah dengan, seperti yang pernah dilontarkan pakar properti Panangian Simanungkalit, pengadaan posisi kementerian koordinator perumahan rakyat? Ini memungkinkan mengingat, dalam Pasal 6 Ayat 2 Undang-undang nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, ada dijelaskan bahwa pembinaan dan penyelenggaraan kawasan permukiman, seorang menteri melakukan koordinasi lintas sektoral, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan, baik vertikal ataupun horizontal.
Atau dengan menjadikan sektor tersebut sebagai salah satu industri strategis RI? Ataukah, setelah memercepat penyelesaian RUU Tapera (Rancangan Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat) yang kini dimatangkan di parlemen, lantas benar-benar merevitalisasi sektor perumahan rakyat berbekal dana besar yang dihimpun dari Tapera?
Marilah kita menunggu bersama jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
*Penulis, Achmad Adhito (achmad_adhito@yahoo.com), adalah Wartawan di Majalah/Situs Internet BusinessNews Indonesia. Menulis Buku “Lokasi Emas Properti” dan “Jangan Ambil KPR Sekarang” Bersama Ahli Properti dari Federasi Pembangunan Perkotaan Indonesia, Budi Santoso.
Tulisan Ini Merupakan Pendapat Pribadi.