
Hari ini, penulis ingat bahwa Survei Properti Residensial yang sering dilansir Bank Indonesia, sering memuat banyak informasi menarik. Dan isinya banyak menjungkirbalikkan asumsi mendasar yang dipercaya praktisi industri properti.
Apa contohnya? Ada beberapa. Pertama, antara lain, sering diungkapkan oleh survei tersebut bahwa kota besar dengan pertumbuhan harga properti hunian sekunder tertinggi, bukanlah di Pulau Jawa. Melainkan kota besar di pulau lain seperti Manado.
Maka, kalau beranggapan bahwa investasi properti paling menguntungkan yakni di Jakarta dan sekitarnya, kita kalau mengacu ke survei tersebut harus berkata tegas: “Itu tidak sepenuhnya tepat.” Dalam hal itu, asumsi yang dipakai praktisi ternyata tidak selalu tepat. Dan, telah dijungkirbalikkan oleh sebuah survei keluaran Bank Indonesia.
Jungkir Balik di Jakarta
Itu adalah jungkir balik secara nasional. Di tingkat Jakarta, survei tersebut lagi-lagi melakukan penjungkirbalikkan yang mencengangkan. Persisnya seperti apa? Oke, baiklah, pertama kali, silakan klik link berikut ini
http://www.bi.go.id/id/publikasi/survei/harga-properti-sekunder/Pages/shpr_sekunder_tw313.aspx
Itu survei tentang harga properti hunian (residensial) sekunder di Jakarta, di kuartal ketiga 2014. Sejauh ini, Bank Indonesia belum memublikasikan hasil untuk kuartal keempat 2014 ataupun kuartal pertama 2015; maka, kita cermati saja yang kuartal ketiga 2014 itu.
Fakta mencengangkan, ada beberapa di situ. Pertama, di kawasan manakah yang harga lahannya naik tertinggi? Barangkali, kita menjawab bahwa itu yakni kawasan emas seperti Central Business District Sudirman (CBD Sudirman), Menteng, Kebayoran Baru, Pluit, Kelapa Gading, dan lain-lain.
Namun ternyata, survei itu tidak memuat begitu. Ada dijelaskan bahwa kenaikan harga lahan tertinggi ada di Jakarta Selatan: 4,34% dibandingkan di kuartal kedua 2014. Dan lokasi dengan kenaikan harga lahan tertinggi bukanlah Kebayoran Baru ataupun Pondok Indah yang kondang sebagai lokasi emas di Jakarta Selatan. Namun di Kecamatan Pancoran (4,98%) dan Kecamatan Kebayoran Lama (4,73%). Tidakkah ini cukup mengherankan?
Buat pengembang properti hunian ataupun komersial, dua lokasi itu bisa dikatakan tidak terlalu favorit. Pengembang kompleks town house (rumah bandar) lebih banyak mencari lahan skala kecil di kawasan seperti Pejaten, Mampang, dan Ciganjur. Bukan di Pancoran ataupun Kebayoran Lama. Pula, pencari rumah sekunder via jasa broker properti, lebih banyak mengincar Kecamatan Tebet, sang tetangga Kecamatan Pancoran.
Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa logika dasar ataupun asumsi pasar properti sekunder, berjalan di luar yang lazim. Rumus pasar berbunyi, tatkala permintaan kencang sementara pasokan sedikit, harga akan naik tajam. Di Kecamatan Tebet, permintaan rumah sekunder sangat mungkin lebih kencang daripada Kecamatan Pancoran ataupun Kebayoran Lama. Lantas hasilnya? Kenaikan harga lahan di Kecamatan Tebet tertinggal—setidaknya untuk kuartal kedua 2014.
Asumsi para pembeli ataupun investor properti, tidak sepenuhnya tepat—untuk tidak mengatakan ‘keliru’. Mereka yang mencari rumah sekunder untuk ditinggali ataupun dijadikan instrumen investasi, mungkin melirik kawasan Kebayoran Baru, Pondok Indah, dan Kelapa Gading, dengan asumsi bahwa setelah beberapa waktu, harga lahannya naik lebih tinggi daripada kawasan lain. Tepatkah? Jawabannya sudah kita singgung sebelumnya.
Di saat logika pasar ternyata berjalan di luar kelaziman, bagaimana kita mesti bersikap? Nah, mungkin ada baiknya mencermati hukum pasar yang lain. Bahwa psikologi konsumen/pasar, mungkin perlu dicermati. Persisnya, manakala harga sebuah produk (lahan) sudah terlalu tinggi, sangat mungkin konsumen tidak lagi mau mengeluarkan dana ke situ, dan memilih alternatif lain.
Apakah mungkin itu yang terjadi sehingga kini pencari hunian sekunder lebih banyak singgah ke Kecamatan Pancoran ataupun Kebayoran Lama? Inilah yang menarik untuk kita cermati di waktu-waktu mendatang.
Sekadar tambahan, Survei Bank Indonesia itu pun menjelaskan bahwa, dalam hal kenaikan keseluruhan harga properti (lahan dan bangunan), kenaikan tertinggi diprediksi terjadi di Menteng (4%) untuk kuartal keempat 2014. Bukan di Kecamatan Pancoran ataupun Kebayoran Lama. Tapi bukankah yang selalu naik itu harga lahan, bukan harga bangunan? Maka, bagaimanapun, penjungkirbalikkan logika harga lahan di kuartal ketiga itu, cukup mencengangkan kita.
Terakhir, metode penarikan sampel dari sebuah survei, mungkin bisa dipertanyakan. Misalnya, tatkala penarikan sampel kurang akurat dan kurang representatif, hasil survei pasti kurang mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya. Hal serupa bisa dipertanyakan ke Survei Bank Indonesia itu.
Hanya saja, penulis meyakini bahwa survei hunian itu jauh lebih steril dari kepentingan dibandingkan survei jelang pemilihan eksekutif daerah ataupun nasional, yang acap sarat kepentingan politik. Maka hasil survei hunian itu layak dijadikan acuan.
Itu pendapat penulis, dan mungkin saja pembaca berpikiran lain, bukan?
*Penulis, Achmad Adhito, adalah Wartawan di Majalah Indonesia Housing (www.indonesia-housing.com). Menulis buku ‘Jangan Ambil KPR Sekarang’ dan ‘Lokasi Emas Properti’ Bersama Pakar Properti Budi Santoso.
Tulisan Ini adalah Pendapat Pribadi