
Oleh Achmad Adhito, Kolumnis Tamu
Heboh saham Freeport, belakangan ini mulai mereda. Yang muncul di situ, seolah-olah masyarakat Bumi Cenderawasih tengah diperjuangkan kepentingannya. “KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), tidak boleh ada di sebuah tambang besar di Papua”. Mungkin demikianlah pesan yang ingin ditampilkan dari ingar-bingar tersebut. Dan dari ingar-bingar yang berujung ke mundurnya seorang petinggi legislatif, masyarakat Papua diuntungkan.
Benarkah demikian? Emangnya, pasca-ingar bingar yang menurut penulis sangat bermuatan politis antar-sejumlah kubu itu, masyarakat Papua mendapat apa? Baiklah, agar tidak terseret ke ingar-bingar kepentingan politik, penulis via kolom ini akan mengingatkan pentingnya memerhatikan persoalan perumahan di Papua.
Pentingnya Beberapa Aspek
Ada beberapa hal yang patut kita perhatikan terkait pasokan rumah murah untuk Papua. Pertama, terkait aspek ekonomi. Seperti kita ketahui bersama, Pemerintah Indonesia memberikan batasan harga untuk rumah subsidi. Dan kalau di Jakarta dan sekitarnya harga itu “masih” di kisaran Rp 125-an juta, di Papua lebih tinggi: Rp 175 juta.
Memang, mengacu ke data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan per kapita di Kabupaten Mimika (lokasi tambang Freeport) di kisaran Rp 290-an juta di tahun 2010. Itu lebih tinggi daripada DKI Jakarta yang di Rp 240-an juta.
Tapi bagaimana kalau kita meneropong keseluruhan masyarakat Papua? Kembali mengacu ke data BPS, ternyata di tahun 2014, produk domestik bruto (PDB) DKI Jakarta di Rp 174 triliun. Sangat di atas Propinsi Papua ataupun Papua Barat, yang di Rp 39-an triliun. Maka, tidakkah janggal tatkala masyarakat Papua harus mengocek saku lebih dalam untuk membeli rumah murah—yang tercermin dari tingginya batasan harga rumah subsidi yang Rp 175 juta?
Dan tingginya harga rumah di Papua, muncul dari sebuah persoalan klasik, yakni pengadaan infrastruktur jalan raya ataupun transportasi, yang masih minim. Cerita seorang anggota DPR RI periode 2014-2019, Willem Wandik, alat berat seperti traktor tidak bisa begitu saja diangkut dengan truk. Namun, harus dipreteli satu per satu dan dipindahkan dengan helikopter. “Kita semua perlu tahu, di Papua, kecelakaan pesawat itu tak ubahnya kecelakaan lalu-lintas. Sering terjadi. Dan ini cermin defisit infrastruktur yang besar sehingga banyak lokasi yang harus dijangkau dengan pesawat,” ucap mantan bupati sebuah kabupaten di Papua itu.
Distribusi penduduk di Papua pun sangat khas. Yakni, tidak banyak yang terpusat di kota besar seperti halnya di Pulau Jawa. Namun, memecah ke banyak kantong kecil yang tersebar sana-sini. Hal seperti ini menambah kompleksnya defisit infrastruktur di sana.
Belakangan, menyadari sangat kurangnya infrastruktur di Papua, Pemerintah RI mengintensifkan Proyek Trans Papua: jalan negara yang direncanakan sepanjang 4.000 km. Ini kalau terwujud tentu memangkas persoalan defisit infrastruktur secara signifikan. Demikian pula mahalnya harga rumah di sana.
Tetapi, pada titik ini, satu hal lain perlu kita cermati. Dan kita pun masuk ke persoalan kedua bagi perumahan di sana. Yakni, perlunya perlindungan hukum yang lebih kuat bagi hak milik tanah.
Pengintensifan sertifikat pemilikan tanah adat sangat perlu digenjot. Itu demi memproteksi masyarakat komunal/etnik di Papua dari caplokan modal besar yang berpotensi semakin membanjir ke sana, dengan selesainya Trans Papua.
Dalam sebuah tulisannya, El Nino M. Husein, seorang anggota DPR RI periode 2014-2019, melansir bahwa 49% lahan di RI, belum bersertifikat. Sedangkan jumlah lahan telantar mencapai 7,3 juta hektar.
Penulis belum mengetahui angka pasti tentang jumlah lahan tidak bersertifikat di Papua. Tetapi, tatkala kita asumsikan bahwa jumlahnya signifikan, tidakkah pentingnya sertifikasi tanah adat di Papua, sangat krusial sebelum Trans Papua selesai dan penanaman modal investasi membanjir di sana?
“Apa kata dunia” tatkala nantinya—tentu hal ini tidak kita harapkan—sekelompok masyarakat adat di Papua lahannya raib begitu saja oleh kepentingan investasi, hanya karena ketiadaan beberapa lembar kertas sertifikat?
Dalam hal itu, percepatan pengabsahan Rancangan Undang-undang Pertanahan (RUU Pertanahan) menjadi undang-undang, sangat krusial. Betapa tidak, di RUU itu, penguatan hak milik atas tanah adat, termasuk satu aspek yang ditonjolkan.
Dari sini, kita lalu masuk ke aspek ketiga terkait perumahan di Papua. Yakni, pentingnya meneropong pasokan rumah di Papua berdasarkan segi sosial-budaya. Ini penting mengingat keberadaan kelompok etnik-komunal di Papua, yang masih banyak. Dan keterikatan mereka ke tradisi ataupun adat, masih kental.
Cerita ringan tentang seni tersendiri dalam memasok rumah honai sehat oleh Kementerian Perumahan Rakyat (sekarang menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), menjadi contoh pas bagi kita. Zulfi Syarif Koto, mantan deputi menteri perumahan rakyat, dahulu dalam satu wawancara dengan penulis, bercerita tentang seni tersendiri sosialisasi rumah honai sehat.
Rumah honai sehat, didesain dengan beberapa pembaruan. Antara lain, cahaya matahari lebih banyak masuk. Dan ada titik pemisahan antara ternak dengan penghuninya. Tetapi, pembaruan ini tidak mulus begitu saja. Pasalnya, ikatan antara penghuni dengan ternaknya, merupakan sebuah kekhasan tradisi, dan tidak bisa diputus begitu saja.
“Apa yang kita anggap tepat terkait rumah honai, belum tentu tepat bagi masyarakat itu. Dan saat itu, kami perlu sosialisasi melalui pemuka agama, tokoh adat, dan lain-lain,” cerita Zulfi.
Walhasil, dalam pasokan rumah murah ke Papua, segi sosial-budaya sangat perlu kita kalkulasi dengan cermat-matang. Untuk apa kalau harga rumah lebih murah dan pasokan lebih banyak, tapi penerimaannya lantas kurang mulus karena terabaikannya aspek itu?
Terlepas dari itu, sebenarnya, perlunya pertimbangan sosial-budaya pun bisa muncul di Ibu Kota. Kenapa Rumah Susun Marunda banyak kosong? Menurut seorang mantan pejabat di Pemerintah Propinsi DKI, Ery Chajaridipura, karena kurangnya penekanan ke aspek sosial-budaya masyarakat di sana.
Akhir kata, di sela heboh saham Freeport baru-baru ini, sebenarnya ada banyak hal tentang Papua, yang kita lenakan. Antara lain, soal pasokan rumah murah yang ternyata masih mahal, defisit infrastruktur, kurangnya perlindungan hak milik tanah, dan lain-lain.
Selain ramai menyoal KKN di heboh saham itu—yang sarat muatan politis–tidakkah kita perlu menyimak persoalan lain di Papua, antara lain tentang rumah murah? Dari heboh saham Freeport, emangnya perumahan di Papua lantas murah…? Mereka dapat apa ya…?