
Oleh Achmad Adhito, Kolumnis Tamu
Kurangnya pemenuhan kebutuhan rumah, menjadi pekerjaan besar bagi Pemerintah Indonesia. Kekurangannya mencapai 15-an juta unit dan terus bertambah tiap tahun sekira 800.00 unit—dihitung dari pertambahan keluarga baru, dan lain-lain.
Saat ramainya Program Sejuta Rumah di tahun kedua, muncullah wacana pembentukan holding BUMN properti. Publik bertanya, nantinya akan bagaimana kaitan holding itu dengan pemenuhan kebutuhan rumah murah? Dan bagaimana kira-kira “genre” dari holding itu? Siapa panglimanya?
Tulisan ini akan mencoba membedah peta format sekitar kurangnya pasokan rumah dan holding tersebut.
Agar lebih mudah disimak, tulisan ini akan dijabarkan dalam bentuk poin-poin. Mari kita ikuti bersama sebagai berikut:
1. Ada tiga institusi vital yang bisa berperan banyak mengurangi angka backlog perumahan. Itu adalah: Perumnas sebagai Badan Khusus Perumahan; Badan Pengelola (BP) Tapera; dan holding BUMN properti.
2. Peran Perumnas adalah sebagai koordinator dan integrator utama penyediaan hunian murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Perumnas berperan menyediakan land bank; dan membangun hunian murah di lokasi/kawasan tertentu.
3. Dalam hal membangun hunian murah, tidak mungkin bila Perumnas membangun sendirian karena berbagai faktor seperti keterbatasan SDM. Maka, harus bekerja sama dan sinergi dengan asosiasi pengembang seperti Apersi, REI, dan lain-lainnya.
4. Perlu ada pemetaan besar/nasional, tentang titik lokasi garapan Perumnas dengan pengembang swasta. Perumnas ada baiknya fokus ke titik lokasi yang sulit digarap pengembang swasta. Ataupun, Perumnas berperan membangun rumah susun murah, sedangkan pengembang swasta fokus ke rumah murah.
5. Adanya land bank memadai adalah kata kunci mengurangi total angka backlog perumahan dengan cepat. Maka Perumnas perlu berfokus utama dalam hal itu.
Untuk adanya land bank dalam jumlah banyak, Perumnas perlu mendapatkan dukungan komprehensif dari banyak pemangku kepentingan.
6. Dukungan utama, sangat perlu datang dari Pemda yang angka backlog-nya tinggi. Pemanfaatan lahan menganggur di banyak propinsi untuk zona lahan hunian murah, tentu perlu payung hukum dari banyak Pemda.
Maka, Pemda perlu terlibat intensif untuk membuat zona tersebut dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
7. Sangat mungkin, perlu proses revisi Perda (Peraturan Daerah) tentang RTRW di banyak kawasan. Oleh karena itulah, dalam hal land bank ini, Perumnas perlu dukungan kuat dari institusi lain.
8. Sekadar tambahan, sebenarnya, di Pasal 40 Ayat 1 Undang-undang tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, disebutkan jelas bahwa Pemerintah Daerah (selain Pemerintah Pusat) bisa membentuk Badan Khusus Perumahan. Tapi sejauh ini, hal itu belum terdengar direalisasikan, dan yang ada baru Perumnas sebagai Badan Khusus Perumahan yang dibentuk Pemerintah Pusat.
9. Dengan kondisi ini, maka seyogianya ada back up yang terfokus ke Perumnas sebagai Badan Khusus Perumahan, dalam membentuk zona lahan rumah murah.
10. Institusi pem-back up itu utamanya adalah Kementerian Dalam Negeri, yang bisa berperan banyak meminta Pemda merevisi RTRW untuk adanya zona lahan hunian murah secara massal di Indonesia.
Institusi lainnya, adalah DPRD di banyak daerah. Ini mengingat revisi RTRW pasti memerlukan persetujuan DPRD.
11. Kementerian BUMN pun seyogianya berperan banyak memasok land bank untuk hunian murah.
Ini mengingat banyaknya aset lahan BUMN yang tidak termanfaatkan, dan bisa dimasukkan ke zona lahan hunian murah itu.
12. Dalam hal digunakannya aset lahan Pemda atau BUMN, perlu adanya payung hukum tertentu agar aset tersebut tetap menjadi hak milik Pemda atau BUMN.
Pernah, di Kementerian PUPR, ada wacana agar proyek rusunami berlangsung di lahan milik Pemda/BUMN, dengan status “Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan Lahan”. Payung hukum semacam inilah yang diperlukan.
13. Tentunya, sedari awal, perlu sosialisasi kepada pembeli unit rusunami bahwa status tanah apartemennya, adalah tanah negara; status tersebut bisa diperpanjang oleh Pemerintah RI.
Tujuan sosialisasi ini, adalah meminimalkan kesalahpahaman antara pembeli dengan pengembang, di kemudian hari, tentang status lahan tersebut.
14. Kini, BP Tapera akan terbentuk dan penghimpunan dana masyarakat untuk pengadaan hunian murah segera berlangsung. Ada banyak dana segar yang tersedia untuk pengadaan hunian tersebut.
Oleh karena itu, percepatan pembentukan zona lahan hunian murah itu tentu sangat diperlukan.
15. BP Tapera perlu mendorong bank selain BTN, untuk menjemput bola dalam pembiayaan pemilikan hunian murah. Antara lain bank milik Pemda. Bukankah ada sekira 900.000 pegawai negeri sipil (PNS) yang kini belum punya rumah sendiri?
16. Selain itu, BP Tapera perlu memerhatikan 800.000-an anggota TNI dan Polri, yang belum punya rumah sendiri. Perlu skema pembiayaan terobosan dengan payung hukum memadai, untuk hal ini.
Kemudian, untuk MBR sektor informal yang tidak bankable tapi sebenarnya mampu mengangsur KPR subsidi, BP Tapera dan bank pemberi KPR subsidi, perlu merumuskan lebih erat tentang permudahan akses kredit.
17. Skema terobosan untuk MBR sektor informal, saat ini sudah dipikirkan atau sudah dijalankan di daerah tertentu; adalah Kadin pimpinan Eddy Ganefo, yang kini sedang mematangkan skema tersebut. Dalam hal ini, seyogianya ada sinergi lebih intensif antara Komite Tapera, perbankan, Pemda, dan pihak pengembang swasta.
18. Kini, wacana terbentuknya holding BUMN properti dan holding BUMN sektor lain, terus mengemuka secara nasional. Penulis berpendapat bahwa, seyogianya, ada pemisahan jelas antara BUMN nirlaba di bidang perumahan rakyat, dengan yang orientasi keuntungan.
19. Maka dari itu, seyogianya, badan yang paling siap menjadi koordinator/integrator perumahan rakyat yakni Perumnas, berdiri sendiri. Bisa sebagai badan hukum publik dengan payung hukum tersendiri—bukan lagi sebagai persero.
Atau, ditegaskan bahwa Perumnas adalah Badan Khusus Perumahan yang bukan lagi persero.
20. Di samping Perumnas, adalah adanya holding BUMN properti yang bersifat komersial. Ini bisa diisi banyak perusahaan konstruksi besar ataupun properti, dalam satu holding.
Koordinasi dan sinergi antara Perumnas dengan holding tersebut, seyogianya berjalan demi sinergi dalam memangkas tajam angka backlog perumahan.
Contoh hal ini, kewajiban perusahaan BUMN properti untuk membangun hunian murah sesuai aturan hunian berimbang, perlu dipetakan bersama Perumnas.
21. Kemudian, bagan dari semua yang telah dijelaskan penulis, dapat dilihat sebagai berikut:
Bagan The 3 Lions Penggasak Backlog Perumahan
22. Jadi, jelas bahwa The 3 Lions yang dimaksud di judul tulisan ini, adalah: Perumnas/Badan Khusus Perumahan; BP Tapera; holding BUMN Properti.
23. Sekian dan terima kasih. Masukan dan koreksi, sangat dimungkinkan.