
Oleh Budi Santoso
Jakarta, jika ibarat sebuah perusahaan maka secara finansial layak dikatakan perusahaan yang bangkrut. Bagaimana tidak. Antara pendapatan (APBD) dan pengeluaran (biaya-biaya kerugian) menunjukkan neraca negatif. APBD 2017 hanya Rp77 triliun, sementara biaya-biaya kerugian akibat kemacetan dan banjir saja lebih dari itu.
Japan International Cooperation Agency (JICA) beberapa tahun lalu pernah merilis hasil riset tentang kondisi transportasi Jakarta. Menurut riset tersebut, dengan sedikitnya 1.000 kendaraan baru meluncur setiap hari, diprediksikan lalu lintas pada tahun 2020 akan macet total, ditambah kerugian ekonomi mencapai Rp65 triliun per tahun.
Hampir serupa, Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) juga mengungkapkan, bahwa kerugian akibat macet dari aspek polusi, BBM, kesehatan dan stres menimbulkan kerugian lebih besar, yakni Rp128 triliun per tahun.
Selain itu, kerugian akibat banjir yang mendera ibukota setiap tahun terbilang bukanlah nilai kecil. Banjir 2013 telah menelan biaya kerugian Rp20 triliun, dan banjir 2014 sekitar belasan triliun rupiah, dan banjir tahun-tahun berikut lumayan besar.
Tidak hanya dari kedua hal di atas (macet dan banjir), dari aspek daya dukung lingkungan (carrying capacity) pun kota Jakarta sudah mengkhawatirkan. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah membuat bebannya menjadi amat berat, karena dituntut untuk memenuhi lahan permukiman, infrastruktur, sanitasi, pasokan air bersih, listrik, dan logistik. Oleh karena itu, banyak kalangan menyerukan agar fungsi Jakarta sebagai ibukota negara perlu dilepas, dan dicari kota penggantinya.
Masih Wacana
Dalam catatan sejarah mengenai usulan perpindahan Jakarta sebagai pusat pemerintahan sesungguhnya sudah digulirkan selama empat era. Pertama, era kolonial Hindia Belanda. Sekitar awal abad ke-20, penguasa ketika itu tengah mengupayakan perpindahan kota pemerintahan dari Batavia (nama Jakarta tempo dulu) ke Bandung. Hal ini disebabkan Batavia rentan terhadap banjir dan penyakit, sehingga perlu diganti oleh kota yang lebih layak dan lebih nyaman. Namun kemudian gagal, karena terjadinya Depresi Besar 1930-an dan Perang Dunia II 1940-an.
Kedua, era Orde Lama. Presiden Soekarno saat meresmikan Palangkaraya sebagai ibukota provinsi Kalimantan Tengah pada 17 Juli 1957, berpidato ingin menjadikan kota itu sebagai ibukota negara yang baru. Pertimbangannya, karena Kalimantan merupakan pulau terbesar, letaknya di tengah-tengah gugus pulau Nusantara, dan menghilangkan sentralistik Jawa. Impian sang proklamtor lantas terkubur seiring terpuruknya perekonomian nasional, disusul 1966 beliau diturunkan karena peristiwa G30S/PKI.
Ketiga, era Orde Baru. Kendati Presiden Suharto tidak pernah menyatakan akan memindahkan pusat pemerintahan, tetapi dia sempat mengeluarkan Keppres No.1/1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol Sebagai Kota Mandiri. Realita di lapangan pun menunjukkan adanya pembebasan/penguasaan lahan di sana hingga ribuan hektar oleh kelompok perusahaan yang dekat Keluarga Cendana sebagai persiapan menuju ke arah dimaksud. Belum sempat terwujud, kekuasan Orde Baru dilengserkan secara dramatis paska krisis moneter 1997–1998.
Keempat, era Orde Reformasi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada medio 2010 mendukung ide untuk membuat pusat politik dan administrasi Indonesia yang baru, serta membentuk tim kecil untuk mengkajinya. Tiga tahun berikut, tepatnya pada 7 September 2013 di Petersburg, Rusia, SBY menegaskan kembali bahwa pemerintah mempertimbangkan perpindahan ibukota negara dengan merujuk pada negara lain yang berhasil seperti Malaysia, Australia, Turki dan Kazakstan. Hanya sayang, hal ini masih wacana mengingat SBY sudah melepaskan jabatannya.
Namun, pada awal pemerintahan Presiden Jokowi, Kepala PPN/Bappenas (waktu itu) Andrianof Chaniago menyatakan, bahwa salah satu kota baru dari sepuluh kota baru yang akan dibangun berpotensi menjadi ibukota baru pengganti Jakarta (beritasatu.com., 16/04/2015). Wacana mengenai perpindahan ibukota negara kembali mengemuka pada bulan April 2017 ini, dan kota Palangkaraya disebut-sebut lagi sebagai kandidat kuat.
Keberanian Presiden
Perpindahan pusat pemerintahan dari suatu kota ke kota yang lain di mancanegara telah dimulai abad ke-11. Inggris dapat dikatakan sebagai negara pertama yang berpindah dari Winchester ke London pada 1066. Kemudian Amerika Serikat pada 1791, dari New York ke Washington DC. Tidak ketinggalan Jepang, dari Kyoto ke Edo (Tokyo) pada 1868.
Selama abad ke-20 perpindahan ibukota makin banyak. Tercatat adalah: India dari Delhi ke New Delhi (1911), Australia dari Melbourne ke Canberra (1927), Turki dari Istambul ke Ankara (1943), Pakistan dari Karachi ke Islamabad (1960), Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia (1961), Kazakstan dari Amaty ke Astana (1997), dan Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putrajaya (1999). Pada awal abad ke-21 ini baru Myanmar yang memindahkan ibukotanya dari Rangoon ke Naypyidaw (2002).
Kenapa harus berpindah? Sebagian karena alasan politis, sebagian lagi karena alasan teknis-rasional. Ibukota lama dinilai tidak mampu “menampung” perkembangan kota di masa depan, sehingga perlu mencari kota lain yang lebih akomodatif dan prospektif.
Untuk kasus Jakarta memang riskan dipertahankan sebagai ibukota. Masa depannya tidak layak disebut sebagai kota yang berkelanjutan (sustainable city) disebabkan terbelit oleh berbagai masalah. Selain kemacetan dan banjir yang akut, Jakarta juga rentan terhadap air pasang laut (rob), intrusi air laut, penurunan muka tanah, pencemaran udara dan air, persampahan, kekumuhan serta kejahatan dan masalah sosial yang kian meningkat. Kompleksitas permasalahan ini, apabila tidak ada tindakan terobosan, bencana lebih serius akan mengancam, sebagaimana diulas dalam Tajuk Rencana Kompas edisi 7 Februari 2014. Tidak tertutup kemungkinan suatu saat Jakarta menjelma jadi miseropolis, yaitu kota yang menyengsarakan bagi warganya.
Bagaimana dengan RUU Megapolitan yang pernah diinisiasi oleh DPD tahun 2014? Ini bukanlah solusi terbaik. Megapolitan, yang mencakup Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur hanya bagus dalam hal pengelolaan lingkungan hidup dan tata air, tetapi diragukan dalam hal lainnya. Bahkan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten tidak mendukung dan mempertanyakan efektifitas undang-undang ini apabila diberlakukan (kompas.com, 19/02/2014).
Selama Jakarta berpredikat ibukota dipastikan tetap jadi “magnet” bagi siapa saja untuk datang dan membangun properti di dalam dan di sekitarnya, sehingga tekanan permasalahan tambah berat. Pada 2020 jumlah penduduk Jabodetabek akan mencapai 30 juta jiwa. Artinya, kota yang berpenghuni sebesar itu disebut megacity, dan di dunia hanya ada tujuh kota berstatus demikian, yaitu Tokyo–Yokohama, Jakarta–Bodetabek, Sao Paulo, New Mexico City, Mumbay, New Delhi dan New York City. Kota mega, apabila minim penataan dan pengelolaan yang baik dan tegas, biasanya identik sebagai kota yang karut-marut.
Jadi, atas pertimbangkan berbagai aspek, ibukota negara patut dipindahkan dari Jakarta. Alternatif kota penggantinya banyak, bisa berlokasi di Pulau Kalimantan atau Pulau Sulawesi, dan sebaiknya tidak di Pulau Jawa. Presiden Jokowi harus berani mengambil keputusan (extraordinary policy) tersebut. Jangan hanya berorasi maupun berwacana. DPR baru pun mesti mendukung dengan mencabut UU No.29/2007 tentang Pemprov DKI Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara teknis pelaksanaan sebenarnya tidaklah terlalu sulit. Dana membangun ibukota baru berkisar Rp70 triliun (Rahardjo Adisasmita dan Sakti Adji Sasmita, 2011), atau setara dengan biaya kerugian akibat kemacetan dan banjir di Jakarta dalam satu tahun. Anggarannya dapat menggunakan dana APBN secara bertahap (multiyears), misal selama 5 tahun.
Memang untuk membangun ibukota baru membutuhkan waktu cukup lama. Islamabad dan Astana perlu rentang 15 tahun, serta Brasilia dibangun dalam 5 tahun. Kalaupun Indonesia butuh 5 tahun untuk merampungkan ibukota baru, maka Jakarta tetap digunakan sebagai pusat pemerintah sementara.
Selain itu, untuk koordinasi antara kantor (istana) pemerintahan pusat baru dengan instansi-instasi lainnya yang tinggal di Jakarta tidak perlu dirisaukan. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mampu mengatasi kendala jarak dan waktu.
Yang lebih penting lagi, dengan dilepaskan fungsi Jakarta sebagai pusat pemerintahan –tetapi masih sebagai pusat perekonomian dan perdagangan– berarti akan menyelamatkan masa depan kota Jakarta dari bencana lebih serius.