DP Rumah Nol Rupiah

Ilustrasi/Istimewa

 

 

 

 

 

 

 

Oleh Budi Santoso, Konsultan Properti

Perdebatan dan polemik mengenai uang muka (downpayment/DP) Nol Rupiah atau Nol Persen (0%) pembelian rumah telah mengemuka dalam Pilkada Jakarta 2017 putaran kedua. Dari kebanyakan pendapat sejumlah pemerhati cenderung menyebutkan bahwa hal tersebut sulit diwujudkan, bahkan tidak mungkin direalisasikan. Benarkah?

Tidak Perlu Dimentahkan
Gagasan, atau tepatnya janji kampanye, pasangan calon Anies Baswedan dan Sandiaga Uno mengenai DP Rumah Nol Rupiah sesungguhnya sebagai hal yang menarik jika memang ingin dikongkritkan. Ada empat alasan kenapa gagasan ini tidak perlu dimentahkan atau digugurkan terlalu dini.

Pertama, rumah merupakan kebutuhan primer (sama seperti pangan dan sandang) yang semestinya dimiliki setiap warga/keluarga, tetapi kini sulit terjangkau bagi masyarakat kelas menengah-bawah disebabkan harganya kian mahal. Paling tidak mereka mesti memiliki penghasilan resmi Rp 4 juta dan uang muka sedikitnya Rp 50 juta.

Oleh karena itu, perlu suatu solusi dan terobosan baru agar mereka mampu membelinya. Dengan mekanisme dan sistem pasar rumah yang berlaku selama ini, dan bila dibiarkan terus berlangsung, kiranya kepemilikan rumah bagi mereka Cuma impian indah yang perlu keajaiban guna mewujudkannya.

Kedua, negara dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah, bertanggung jawab untuk menyelenggarakan perumahan dan rumah susun yang layak, terjangkau, aman, sehat, harmonis dan berkelanjutan, sebagaimana amanat UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman serta UU No. 20/2011 tentang Rumah Susun.

Dengan demikian negara perlu hadir sebagai inisiator, regulator sekaligus pemain dalam hal pengadaan rumah. Apalagi mengingat kekurangan rumah (backlog) di sepenjuru negeri mencapai lebih 13 juta unit, dan kebutuhan rumah per tahun sekitar 700 ribu unit.

Di Jakarta masih terdapat lebih satujuta warga yang belum memiliki rumahsendiri yang layak. Jika pemerintah hanya sebagai penonton, sampai 100 tahun Indonesia merdeka pun masalah kebutuhan rumah bagi rakyat tidak akan pernah teratasi.

Ketiga, harga rumah sekitarRp 350 juta, apa ada di Jakarta? Barangkali rumah tapak (landed house) tidak terlalu banyak didapat. Apalagi untuk lahan dalam skala cukup luas dan berada pada lokasi strategis yang pastinya berharga sangat tinggi.

Namun, untuk rumah vertikal/rumah susun yang tidak memerlukan lahan luas, untuk ukuran tidak lebih dari 40 meter persegi per unit cukup rasional dipatok dengan harga Rp 350 juta, sebagaimana apartemen sederhana (rusunami) yang telah banyak dipasarkan selama ini.

Keempat, apabila rumah tersebut diperjualbelikan maka lahan yang digunakan tidak boleh di atas tanah negara. Dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta harusmembeli tanah yang berstatus hak milik (HM) atau hak guna bangunan (HGB). Lain halnya jika membangun rumah susun sewa (rusunawa), Pemprov DKI Jakarta boleh membangun di atas tanah (negara) miliknya.

“PoliticalWill”
Lalu bagaimana teknis pelaksanaan berikutnya? Pemprov DKI Jakarta dalam hal ini harus menjadi “pengembang”. Untuk itu, Gubernur dapat menunjuk badan usaha milik daerah (BUMD) yang berkompeten di bidang ini, yakni PT Jakarta Propertindo atau PD Sarana Jaya yang bertindak sebagai pemilik sekaligus penjual rumah yang dimaksud.

Sehubungan masih dalam tahap uji coba dan memiliki risiko cukup tinggi (terutama menyangkut “kredit macet” dan “gagal bayar” dari pembeli), sebaiknya cukup dibangun 2 (dua) menara semacam rusunami dalam satu lokasi, di mana jumlah seluruhnya 500 unit.

Dengan asumsi DP Nol Rupiah, BUMD harus “menalangi” dahulu uang muka para pembeli sebesar 20 % dari nilai jual, sebagaimana ketentuan Bank Indonesia. Sementara sisa berikutnya sebesar 80 % dialihkan ke Bank DKI dalam bentuk KPR/KPA.

Dengan pembeli 500 orang dan DP yang ditalangi 20 % dari harga jual Rp 350 juta, maka BUMD harus menyiapkan dana: 500 x Rp 70 juta = Rp 35 miliar. Suatu angka yang kiranya tidak terlalu memberatkan BUMD tersebut. Perlu diingat, dana talangan tersebut suatu ketika akan dikembalikan melalui proses jual-beli biasa.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kampanye DP Rumah Nol Rupiah pada hakikatnya bisa direalisasikan jika memang ada political will (kemauan politik) dari Gubernur. Terlebih lagi Gubernur pun punya hak dekresi (wewenang penuh) dalam rangka menyejahterakan rakyat yang memang membutuhkan uluran tangan pemimpinnya. *

Iklan

Tinggalkan Komentar Anda

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s