OPINI: Tapera, Benarkah Beban?

Sumber Ilustrasi: Istimewa

 

 

Oleh Achmad Adhito

Beberapa waktu belakangan ini, setelah Presiden RI Joko Widodo pada akhirnya memuluskan dimulainya pungutan bagi Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) kontroversi sedikit bergema. Antara lain dari sebagian asosiasi pengusaha dan asosiasi pekerja. Selain itu, sejumlah pengamat pun memersoalkan dimulainya pungutan tersebut.

Dalam hal itu, antara lain disebutkan bahwa Tapera akan menjadi beban bagi perusahaan. Pula, ada suara bahwa pungutan tersebut hadir pada waktu yang tidak tepat karena saat ini dunia bisnis masih berbenah karena dampak Covid-19.

Ketika kita telaah, memang penolakan tersebut bisa mengherankan. Sebab, seperti kita ketahui bersama, pungutan tersebut digelar dalam beberapa fase dan punya interval waktu wajib yang panjang. Pun, untuk fase awal, pungutan tersebut diberlakukan ke para ASN, dan sejauh ini tidak terlihat adanya penolakan signifikan dari kalangan tersebut. Maka sejatinya, apa yang perlu dipersoalkan dari pungutan tersebut pada saat ini?

Akan tetapi, untuk tidak memerpanjang kontroversi, opini ini akan mencoba meneropong dari sisi lain. Yakni dari manfaat Tapera dalam jangka panjang untuk sebuah entitas bisnis yang mengikutsertakan karyawannya ke dalam Tapera.

Ada banyak studi atau pun pemikiran mengenai hubungan antara kebahagiaan karyawan dengan produktivitas kerja. Bagi kita, kiranya penting untuk mencermati hal tersebut dalam hal kontroversi pungutan Tapera.

Persisnya, tatkala kepesertaan dalam Tapera dan peluang memiliki rumah milik sendiri semakin terbuka, bukankah otomatis ada satu kebahagiaan yang muncul, dan lantas produktivitas-kinerja berpeluang semakin meningkat? Ujung-ujungnya, hal itu mendongkrak performa suatu perusahaan.

Seorang pemikir psikologi legendaris, Abraham Maslow, sejak lama melansir teori tentang lima hirarki kebutuhan manusia. Itu adalah sebagai berikut: kebutuhan fisiologis; kebutuhan rasa aman; kebutuhan rasa memiliki dan kasih sayang; kebutuhan penghargaan; kebutuhan aktualisasi diri.

Dalam pandangan penulis opini ini, lima jenjang kebutuhan tersebut tidak mesti dilalui bertahap oleh seseorang, dalam lingkungan kerja atau pun lingkungan lain. Lima jenjang kebutuhan tersebut, dengan kata lain, bisa muncul bersamaan dalam sebuah lingkungan kerja atau pun lingkungan lain. Oleh sebab itu, adalah penting bagi pengelola sebuah entitas bisnis untuk mengelola lima jenjang kebutuhan yang bisa saja muncul paralel dalam diri para karyawan.

Mengapa pengelolaan seperti itu vital? Sebab, dengan pengelolaan yang mumpuni, kebahagiaan karyawan bisa lebih bagus, dan otomatis bahwa lantas produktivitas/kinerja mereka terdongkrak.

Lalu, di mana posisi kepesertaan dalam Tapera, dalam hal tersebut? Ada baiknya kita mencermati poin keempat dalam hirarki Maslow tersebut: kebutuhan penghargaan. Di sini, secara ringkas bisa dikatakan bahwa seseorang—termasuk karyawan pada sebuah entitas bisnis—menginginkan adanya hal-hal seperti apresiasi, prestis, pengakuan, dan lain-lain sejenis. Di sini, bukankah kita bisa menyimpulkan bahwa ketika para karyawan diikutsertakan dalam Tapera dan berarti diapresiasi oleh entitas bisnis, dia merasa mendapatkan semacam rasa bahagia?

Adapun seorang ahli properti, Budi Santoso, dalam sebuah bukunya menyebut bahwa pemilikan rumah punya makna tertentu. Yakni menimbulkan status sosial-ekonomi yang lebih baik, serta melahirkan rasa prestis tertentu. Pandangan ini tentu paralel dengan premis dari Maslow tersebut, bukan?

Terlepas dari itu, dapat kita bahas sejenak pula perihal sejumlah studi yang menelisik keterkaitan antara kebahagiaan dengan produktivitas kerja. Sebuah penelitian oleh University of Warwick (Inggris), misalnya, mengungkapkan hal tersebut. Ringkasnya: karyawan yang bahagia mendapatkan kenaikan produktivitas melebihi 10%. Dan hal itu bisa berdampak kepada performa perusahaan.

Studi lain pun merekomendasikan cara bagi entitas bisnis untuk memicu rasa bahagia dalam diri karyawan. Antara lain dengan penerapan prinsip fairness, kompensasi yang bagus, dan lain-lain.

Maka dari semua paparan tersebut, kita sepertinya bisa mengambil kesimpulan tertentu. Yakni bahwa kepesertaan karyawan dalam Tapera berpotensi menimbulkan rasa diapresiasi dan meraih prestis. Dan hal itu melahirkan suatu rasa bahagia, dan berpotensi menaikkan produktivitas. Ujung-ujungnya, kinerja entitas bisnis pun bisa lebih terbantu.

Angka defisit pemilikan rumah di RI memang masih simpang-siur. Kini marilah kita mengambil angka ‘konservatif’: 8 juta unit rumah. Berarti, ada 8 juta kepala keluarga yang belum memiliki rumah; angka tersebut pun naik sekitar 800.000-an unit per tahun.

Maka, ada potensi tersembunyi berupa naiknya produktivitas 8 juta pekerja, karena ikut serta dalam Tapera, bukan? Akhir kata, rasa-rasanya entitas bisnis atau pun pengamat yang berkeberatan terhadap pungutan Tapera, ada baiknya mencoba menyibak berdasarkan sudut pandang baru, yang tidak sekadar meneropong karyawan dalam angka-angka kuantifikasi. Sebab pada prinsipnya, karyawan adalah manusia, bukan?

 

Iklan

Tinggalkan Komentar Anda

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s