
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan stimulus untuk sektor bisnis properti hunian pada tahun 2021. Dalam hal tersebut, pemerintah Indonesia melansir aturan pelonggaran LTV (loan to value) kredit pemilikan properti hunian menjadi dimungkinkan sampai 100% (uang muka untuk konsumen, bisa 0%).
Pemerintah Indonesia pun telah melansir stimulus pajak untuk hunian. Dalam hal ini, PPN untuk rumah seharga di bawah Rp 2 miliar, ditiadakan.
Stimulus tersebut ditujukan ke properti hunian yang telah terbangun/ready stock. Dan berlaku untuk tahun 2021 ini.
Stimulus itu bisa kita sebut sebagai semacam ‘obat insidentil’ untuk pasar yang melesu akibat dampak Covid-19. Dan merupakan ‘obat’ yang cukup pas karena, seperti pernah diutarakan dalam analisis BeritaRealEstate.co sebelumnya, satu persoalan dalam pasar adalah kecenderungan kelebihan pasokan di tubuh beberapa pengembang go public—bukan tidak mungkin bahwa persoalan yang sama dialami pengembang perusahaan privat.
Langkah Berikut
Setelah periode ‘stimulus 2021’ itu selesai, apa kebijakan selanjutnya yang seyogianya berjalan? Ada baiknya terpusat ke ini: penurunan suku bunga kredit yang digunakan pemangku kepentingan sektor properti hunian.
Dalam hal tersebut, idealnya penurunan tak hanya diupayakan ke kredit untuk konsumen (yang berbentuk KPR/KPA). Namun juga tertuju ke kredit untuk kalangan pengembang: kredit konstruksi.
Hal tersebut kiranya penting karena saat bunga kredit konstruksi bisa lebih turun, otomatis bahwa biaya produksi satu hunian bisa lebih rendah. Dan ujungnya, harga sebuah hunian bisa ikut turun; hal tersebut tentu bisa mendorong pasar hunian di Indonesia.
Berdasarkan statistik OJK (Otoritas Jasa Keuangan), ada hal menarik yang sesungguhnya ‘klasik’. Yaitu bahwa tingkat bunga kredit korporasi (kredit konstruksi termasuk di situ), umumnya lebih tinggi daripada tingkat bunga kredit korporasi.
Data OJK tersebut menunjukkan bahwa, pada Februari 2021, SBDK (suku bunga dasar kredit) korporasi di beberapa bank umum konvensional, lebih besar daripada SBDK KPR (terpautnya ada yang sampai 1,25%).
Memang ada juga bank yang memberikan SBDK korporasi lebih rendah daripada SBDK KPR/KPA. Akan tetapi, terlihat bahwa level SBDK korporasi tersebut justru lebih tinggi daripada bank lain.
Kemudian, saat Februari 2021 tersebut, tingkat suku bunga acuan BI Rate ada di 3,75% (diumumkan BI pada 17 Desember 2020). Saat SBDK korporasi ada yang sampai 9% atau malah 10%, bukankah bisa disebut terlalu tinggi oleh sebab melebihi dua kali lipat BI Rate?
Yang menarik adalah adanya fakta bahwa beberapa bank asing atau pun BPD, ternyata bisa memasang SBDK korporasi yang lebih rendah. BPD DI Yogyakarta, contohnya, memasang SBDK korporasi di 5,90%.
Jadi, satu hal mendasar yang kiranya perlu digelar ke depan, adalah level bunga kredit konstruksi yang lebih ringan; hal yang sama tentu kita harapkan dalam hal level bunga KPR/KPA.
Berdasarkan survei BI, ada fakta menarik namun ‘klasik’ pula. Yakni bahwa, pada kuartal keempat 2020, pengembang properti mengandalkan dana internal sebagai sumber utama modal kerja: porsinya mencapai 65,46%. Adapun modal dari bank atau dana dari konsumen, porsinya jauh lebih kecil.
Hal tersebut bisa menjadi penanda bahwa kalangan pengembang properti, memandang bahwa level bunga kredit korporasi masih terbilang tinggi.
Di sisi lain, beberapa kali, responden perbankan dalam survei BI pun menyebut bahwa kredit untuk bisnis properti menjadi salah satu kanal yang ekstra dicermati dalam penyaluran.
Akhir kata, dapat kita tarik satu kesimpulan. Yakni bahwa upaya memangkas level suku bunga dalam sektor properti hunian, seidealnya tak sekadar tertuju ke kredit pemilikan untuk konsumen (KPR/KPA). Namun juga tertuju ke ‘kutub’ lain, yaitu kredit untuk pengembang. Hal ini relatif perlu karena ketika penurunan suku bunga lebih mencakup kutub lain, bukankah harga hunian bisa lebih ringan dan ujung-ujungnya pasar hunian lebih melaju? (Dhi)