
Seperti kejar-kejaran dengan banyak aspek. Demikianlah kiranya ketika kita menakar tingkat daya beli generasi muda RI untuk membeli hunian melalui kredit perbankan, pada saat ini atau pun seterusnya.
Mengapa kita harus menggunakan frasa ‘kejar-kejaran’ tersebut? Pasalnya, ada berbagai aspek yang berpengaruh terhadap daya beli tersebut. Semuanya saling berhubungan timbal-balik, dan sudah tentu saling pengaruh-memengaruhi.
Maka, ketika ada berbagai stimulus yang diberikan pihak regulator kepada masyarakat generasi muda peminat KPR, seketika kita bertanya-tanya: apakah dengan demikian, daya beli mereka untuk menggaet hunian menjadi naik?
Ada berbagai komponen yang berpengaruh kepada daya beli tersebut. Antara lain: tingkat inflasi, tingkat kenaikan harga rumah, tingkat penghasilan, dan sudah tentu: keterampilan mengatur keuangan pribadi.
Dalam hal tingkat inflasi, bisa dikatakan bahwa kini generasi muda tersebut diuntungkan. Sebabnya, tingkat inflasi di Indonesia kini selalu rendah, tak seperti dulu yang bisa menembus di atas 10%. Walhasil, ketika nilai uang yang dimiliki tak banyak tergerus oleh inflasi, maka otomatis bahwa daya beli mereka terhadap hunian melalui KPR bisa terbantu, bukan?
Kemudian, dalam hal tingkat kenaikan harga rumah, pada saat ini pun generasi muda sejatinya diuntungkan. Hal tersebut karena laju kenaikan harga rumah sedang tidak tinggi.
Sebelum datangnya Covid-19 pun, tren perlambatan laju kenaikan harga hunian sudah terjadi; kenaikan tersebut sulit melebihi 5% per tahun. Pula, sejak dahulu, pihak regulator pun untuk hunian subsidi sudah membatasi pergerakan kenaikan harganya, bukan?
Lantas, bagaimana dalam aspek tingkat penghasilan? Hal inilah, sejatinya, yang paling menarik untuk dicermati. Sebab, bisa dikatakan bahwa mayoritas generasi muda sejatinya berpenghasilan tidak melangit.
Kini marilah mengacu kepada Statistik Pemuda Indonesia 2019 dari Badan Pusat Statistik RI (BPS RI). Dari situ, dipaparkan bahwa pendapatan generasi milenial sebagai berikut:
*33,11% di perkotaan mendapatkan gaji melebihi Rp3 juta per bulan.
*28,60% mendapatkan gaji Rp1 juta-Rp1,99 juta per bulan.
*24,33% mendapatkan gaji Rp2 juta-Rp2,99 juta per bulan.
*13,96% mendapatkan gaji di bawah Rp1 juta per bulan.
*Kemudian, saat dirata-ratakan, generasi muda yang bekerja pada kota, mendapatkan gaji di atas Rp2 juta per bulan.
Dari statistik BPS tersebut, marilah kita mengandaikan bahwa yang memenuhi kriteria membeli rumah via KPR adalah yang berpenghasilan melebihi Rp3 juta per bulan. Mereka yang penghasilannya tidak jauh dari titik Rp3 juta, bersua dengan sebuah kendala. Yakni bahwa jumlah yang harus dialokasikan per bulan untuk kebutuhan pokok seperti membeli makanan-minuman, mengontrak hunian, biaya transportasi, dan lain-lain sejenis hal tersebut, bisa cukup signifikan: berkisar 50%.
Walhasil, yang bisa dialokasikan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan KPR (uang muka, rata-rata saldo tabungan pada nilai tertentu, dan lain-lain) tidak banyak. Di saat nantinya harus membayar angsuran KPR di kisaran Rp1,5 juta sampai Rp2 juta, beban finansial mereka pun semakin tidak ringan, bukan?
Selanjutnya, bagaimana dengan aspek keterampilan mengelola keuangan pribadi? Memang hal tersebut menjadi kunci penentu bagi generasi muda dalam kemampuan mengakses KPR perbankan.
Mungkin, kalangan perencana keuangan akan merekomendasikan agar selain mengatur pengeluaran lebih teliti, generasi muda sebaiknya mengandalkan penghasilan tambahan. Yang menjadi soal, ketika mereka bekerja overwork—statistik BPS tersebut juga menunjukkan banyaknya generasi muda yang seperti itu—masih bisakah rekomendasi tersebut dilakukan?
Kini dari semua paparan tersebut, ada satu kesimpulan yang bisa kita tarik. Yakni, bahwa stimulus atau pun skema ekstra untuk generasi muda yang ingin mengakses KPR perbankan, perlu diperluas.
Itu misalnya dengan lebih mengintensifkan program tabungan perumahan baik yang dijalankan bank tertentu atau pun via BP Tapera; menjalankan skema alternatif pembelian rumah seperti sewa-beli rumah yang sempat diwacanakan kalangan pengembang pada REI; dan lain-lain. (Dhi)