Dewasa ini, di sektor kesehatan, ada satu isu yang terus menghangat sekaligus memicu perdebatan. Itu masih terkait dengan keberanian pemerintahan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjelang akhir masa jabatannya. Persisnya, terkait akan beroperasinya Badan Pengelola Jaminan Kesehatan (BPJS Kesehatan) di awal tahun 2014. Sebuah sistem asuransi kesehatan nasional dengan peserta ratusan juta warga, harus mulai beroperasi dalam waktu dekat.
BPJS Kesehatan merupakan sebuah terobosan revolusioner di bidang asuransi kesehatan. Selama ini, berbicara asuransi kesehatan, kebanyakan masih bersifat masih individual. Masih orang per orang. Pemegang polis membayar premi, lalu berhak mendapat manfaat tanggungan dari perusahaan asuransi.
Beberapa tahun terakhir, asuransi gratis untuk warga miskin muncul melalui Program Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah). Di sini, premi warga miskin dibayarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda); untuk warga mampu, premi tetap dipungut.
Dari segi geografi, berlakunya Jamkesda terbatas. Nah, BPJS Kesehatan sangat berbeda dengan Program Jamkesda. Cakupannya lebih luas baik dilihat dari segi pengguna ataupun area cakupan. Semua warga secara bertahap akan menjadi peserta BPJS Kesehatan—kaya atau miskin, tua atau muda, pria atau wanita. Dan sifat kegotongroyongan sangat kental di BPJS Kesehatan karena premi warga miskin ditanggung oleh Pemerintah Indonesia; warga yang lebih mampu, membayar premi. Jadi, ada subsidi silang dari Pemerintah Indonesia. Kemudian, warga mampu menyubsidi yang miskin; warga yang sehat menyubsidi yang sakit.
Jadi, BPJS Kesehatan merupakan sebuah asuransi kesehatan kolektif-gotong royong, dan nantinya bersifat nasional. Itu merupakan sebuah terobosan besar, dan perlu keberanian luar biasa untuk memulainya. Kini, persiapan operasi BPJS Kesehatan masih mengundang kritik banyak pihak. Tapi, Pemerintahan SBY tampaknya tidak akan mengurungkan niat untuk mulai menggulirkan asuransi kesehatan kolektif tersebut.
Tapera Muncul
Nah, di sela persiapan BPJS Kesehatan, muncul pula irama yang lebih kurang sama dari sektor perumahan rakyat. Persisnya, Menteri Perumahan Rakyat RI Djan Faridz, Komisi V DPR RI, dan kalangan terkait lain, berulang kali menyatakan perlunya sebuah skema baru pembiayaan perumahan rakyat. Itu untuk meningkatkan akses kepemilikan rumah sederhana. Gayung pun bersambut. Saat ini, di DPR RI, Rancangan Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat (RUU Tapera) terus dibahas, dan tentu nantinya disahkan menjadi sebuah undang-undang.
Di sini, timbul sebuah pertanyaan menggelitik. Yakni, akankah kelak sebuah BPJS di bidang perumahan rakyat muncul? Apakah kelak akan muncul sebuah sistem pembiayaan perumahan yang memungkinkan terjadinya subsidi silang, di mana warga miskin dibiayai oleh iuran dari warga mampu dan subsidi dari Pemerintah Indonesia? Bila jawaban atas pertanyaan tersebut ‘ya’, jelas bahwa sebuah terobosan revolusioner pun muncul di sektor perumahan rakyat. Sebuah “BPJS perumahan rakyat” telah muncul: sistem yang memungkinkan warga miskin punya rumah sederhana tanpa merogoh kantong.
Tapi, akankah kemunculan BPJS perumahan rakyat semudah itu? Tampaknya BPJS perumahan rakyat tidak akan sedermawan BPJS Kesehatan. Sebab, para MBR (masyarakat berkemampuan rendah; istilah yang banyak digunakan di sektor perumahan rakyat) harus tetap mengeluarkan uang untuk bisa memiliki rumah sederhana. Hal itu tidak mengherankan karena, dari istilah “tabungan” di RUU tersebut, terlihat bahwa MBR wajib menabung untuk bisa memiliki rumah sederhana ataupun menggunakan fasilitas keluaran skema Tapera.
Perkembangan terakhir, Panitia Kerja (Panja) Tapera DPR RI menyatakan bahwa nantinya peserta Tapera ada beberapa kelompok masyarakat. Antara lain pegawai negeri sipil (PNS), pegawai BUMN (badan usaha milik negara), pegawai BUMD (badan usaha milik daerah), dan pekerja pabrik/swasta. Adapun besar iuran Tapera buat kelompok tersebut masih dibahas oleh Pemerintah dan Komisi V DPR RI; besar iuran itu berkisar 2,5% sampai 5% dari total gaji seseorang.
Di sinilah, hakikat dasar skema Tapera tidaklah 100% identik dengan BPJS Kesehatan. Watak sosial BPJS Kesehatan berupa gotong royong nasional di sebuah sistem asuransi kesehatan nasional/kolektif, sejauh ini tidak bisa kita temui di skema tersebut. Sebab, MBR masih diharuskan menabung untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan pembelian rumah sederhana. Pun, Menteri Djan Faridz mengatakan bahwa rencananya MBR bisa menyewa rumah dari Pemerintah Indonesia dengan iuran murah: Rp 50.000-an per bulan. Jadi, semua itu tidak gratisan seperti halnya pemberian subsidi PBI (Penerima Bantuan Iuran) oleh Pemerintah Indonesia di BPJS Kesehatan.
Walau begitu, bukan berarti peluang kemunculan BPJS perumahan rakyat tertutup 100 persen. Sebab, ada pula kemungkinan bahwa skema Tapera berlaku wajib bagi semua warga Indonesia yang berpenghasilan. Di sini, bisa saja nantinya ada pasal yang mengharuskan warga berpenghasilan tinggi sekalipun ikut, namun tidak mendapatkan rumah sederhana; dana yang terhimpun dari warga berpenghasilan tinggi digunakan untuk menyubsidi MBR.
Kalau ketentuan tersebut kelak ada, berarti ada sebuah BPJS perumahan rakyat telah lahir. Karakter gotong royong dan subsidi ala BPJS Kesehatan hadir di sektor perumahan rakyat. Bahkan kehadiran itu lebih tajam lagi. Sebab, bila di BPJS Kesehatan warga mampu masih memegang kartu dan hak mendapatkan pelayanan kesehatan, dalam BPJS perumahan rakyat mereka hanya sekadar membayar iuran tanpa mendapatkan rumah. Mereka sekadar membantu para MBR.
Saat ini, pasal tentang keharusan warga mampu membayar iuran Tapera, masih dalam pembahasan. Belum bisa dipastikan 100% akan ada. Maka, sejauh ini, karakter dasar BPJS Kesehatan belum pasti hadir di skema Tapera.
Siapa MBR Itu?
Sekarang, marilah kita mengandaikan bahwa warga mampu pun mesti membayar iuran Tapera demi MBR. Akankah semua MBR di Tanah Air kita diuntungkan? Kiranya, itu akan ditentukan oleh definisi MBR yang ada di skema Tapera. Siapa yang dimaksud sebagai MBR di sini? Apakah sebatas ke PNS, karyawan BUMN, karyawan BUMD, dan buruh pabrik? Bila terbatas di situ, berarti watak sosial BPJS Kesehatan masih belum merasuk ke skema Tapera. Sebab, kelompok tersebut sebenarnya hanya sebagian dari keseluruhan MBR yang belum punya rumah. Jelas bahwa, di luar mereka, ada banyak pedagang kaki lima, pedagang asongan, buruh tani, dan lain-lain sejenis yang sulit memiliki rumah sederhana.
Kelompok yang terakhir ini jelas tidak bankable di mata perbankan pengucur KPR (kredit pemilikan rumah) subsidi. Selain berdaya beli rendah, mereka tidak bisa melengkapi persyaratan lain mendapatkan KPR seperti slip gaji dari tempat bekerja dan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Bahkan, tempat domisili tetap mereka pun sulit terlacak. Dengan kondisi seperti ini, andai kata skema Tapera memungkinkan mereka menjadi peserta, maukah bank memberikan pinjaman? Hampir pasti: tidak. Lain halnya bila kelak skema Tapera punya sistem penjaminan tertentu untuk MBR yang memungkinkan bank menggerojokkan KPR ke mereka.
Tidak terdeteksinya kelompok tersebut sangat perlu diperhatikan oleh para pembahas RUU Tapera. Sebab, kalau kelompok MBR yang tidak bankable itu luput dari kepesertaan, bukankah watak sosial BPJS Kesehatan semakin tidak singgah di skema Tapera? Dan bagaimana bila jumlah MBR yang tidak bankable itu jauh lebih banyak daripada kelompok PNS dan karyawan BUMN itu? Bukankah niat baik Pemerintah Indonesia untuk menyediakan rumah bagi warga miskin tidak tercapai?
Mengingat besarnya potensi dana kelolaan skema Tapera, MBR tersebut sangat pantas diperhatikan. Dana kelolaan PT Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) yang dikutip dari pekerja dan perusahaan, melebihi Rp 100 triliun. Mengapa pula nantinya dana kelolaan skema Tapera tidak bisa mencapai angka tersebut? Dan dengan dana kelolaan besar tersebut, mengapa pula MBR nan tidak bankable itu luput dari kepesertaan?
Selama ini, anggaran yang dimiliki Kementerian Perumahan Rakyat RI hanya di kisaran Rp 5 triliun sampai Rp 7 triliun. Jumlah yang tidak seberapa dibandingkan anggaran lembaga lain seperti Kementerian Pekerjaan Umum RI yang mencapai Rp 70-an triliun per tahun atau Kementerian Kesehatan RI yang di kisaran Rp 30 triliun per tahun. Selain sedikit, anggaran Kementerian Perumahan Rakyat itu tidak hanya dipakai untuk menyubsidi bunga KPR subsidi milik ratusan ribu MBR. Tapi juga dialokasikan untuk Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (merenovasi ataupun membangun rumah MBR) dan lain-lain. Maka, apakah kelak dana kelolaan ratusan triliun Rupiah dari skema Tapera itu tidak menyinggahi MBR yang tidak bankable? Tentu kita semua tidak mengharapkan hal itu terjadi.
Terlepas dari perdebatan yang masih menghangat di Panja, RUU Tapera merupakan satu terobosan revolusioner di sektor perumahan rakyat. Ada kemauan kuat dari pihak eksekutif dan legislatif untuk menghadiahkan skema ataupun sistem yang lebih merakyat. RUU Tapera merupakan satu upaya untuk membereskan persoalan perumahan rakyat di sisi pembiayaan. Kehadiran skema Tapera merupakan langkah pembenahan di sisi demand (permintaan) di sektor perumahan rakyat. Merupakan inovasi untuk mendongkrak daya beli rumah sederhana—terlepas dari fakta apakah nantinya yang MBR yang tidak bankable ikut terdongkrak atau tidak.
Langkah berikut yang perlu dilakukan, selain memoles sisi permintaan, adalah pembenahan di sisi supply (pasokan) rumah sederhana. Bisa dikatakan bahwa, saat ini, sebenarnya tingkat permintaan dari MBR sangatlah besar. Bayangkan, angka backlog atau kekurangan pasokan rumah, saat ini mencapai 13-an juta unit. Sementara, di sisi pasokan, sangat tidak deras. Beberapa tahun terakhir, pasokan rumah sederhana ke pasar tidak pernah melebihi 200.000 unit per tahun. Dengan asumsi bahwa angka 13-an juta unit itu tidak bertambah, perlu waktu berapa tahun untuk memangkas total angka backlog itu? Lebih dari 50 tahun, bukan?
Maka, Pemerintah Indonesia dan semua pihak yang terkait dengan pasar rumah sederhana, kiranya perlu menggelontorkan sejumlah terobosan revolusioner. Di samping skema Tapera itu sendiri, terobosan revolusioner perlu hadir di sisi pasokan rumah sederhana. Andaikan nantinya berbagai skema pembiayaan di Tapera telah meringankan beban MBR sekaligus memerkuat daya beli mereka, maka pihak lain yang perlu diringankan juga. Itu adalah kalangan pengembang rumah sederhana—sebagian mereka terhimpun di dalam Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi).
Jadi, bukan hanya di sisi demand, Pemerintah Indonesia pun perlu memoles sisi supply. Pemerintah Indonesia perlu lebih memerhatikan ataupun memberikan insentif kepada pengembang rumah sederhana. Dengan demikian, harga rumah sederhana bisa terus ditekan untuk tidak terlalu melangit. Alhasil, daya beli MBR semakin meningkat. Rumah yang bisa dilego pengembang tersebut pun lebih banyak. Sekadar gambaran, saat ini menjumpai rumah sederhana berbanderol di bawah Rp 100 juta di kawasan sekitar Jakarta, sudah nyaris mustahil.
Apa saja persisnya contoh terobosan yang bisa disuguhkan Pemerintah Indonesia kepada pengembang rumah sederhana? Sudah tentu banyak. Itu terkait regulasi, perpajakan, dan lain-lain. Di segi regulasi, hambatan perizinan perlu dipangkas sebanyak mungkin. Saat ini, bisa dikatakan bahwa perizinan yang mesti ditempuh kalangan industri properti di Indonesia terlalu panjang. Ada lebih dari 10 jenis perizinan yang mesti dilalui pengembang properti. Sudah tentu, dari segi waktu dan biaya, itu tidak menguntungkan para pengembang rumah sederhana.
Lalu di sisi lahan. Kini boleh dikatakan bahwa pengembang mesti berjuang sendirian dalam mencari lahan perumahan sederhana. Margin keuntungan tiap unit rumah sederhana yang tipis membuat pengembang harus membangun dalam volume banyak di hamparan lahan yang luas. Dan dimanakah lahan luas dengan harga murah bisa ditemui? Sudah tentu di kawasan yang belum hidup dan masih sepi.Tidak heran bila, ujung-ujungnya, lokasi perumahan sederhana kurang diminati oleh MBR sekalipun; tak jarang, di satu kompleks perumahan sederhana, banyak unit rumah yang tidak terjual dan akhirnya telantar.
Mengatasi hal itu, Pemerintah Indonesia perlu lebih berperan besar dalam penyediaan lahan rumah sederhana. Ada berbagai cara yang bisa ditempuh untuk itu. Yakni, mengharuskan BUMN ataupun BUMD untuk mengalokasikan lahan tidak terpakai, untuk pengadaan rumah sederhana. Ini sebenarnya bukan hal yang baru karena sudah sering dikumandangkan oleh banyak kalangan–untuk pengadaan rumah susun murah, kerja sama dengan BUMN sudah beberapa kali berlangsung. Yang sekarang diperlukan adalah kemauan Pemerintah Indonesia untuk lebih intensif dalam mengeksekusi hal itu. Dan hal itu tentu harus melibatkan ataupun menyinergikan banyak Kementerian ataupun lembaga lain.
Kombinasi pemolesan di sisi permintaan (melalui skema Tapera) dan pasokan (diberikan kepada pengembang rumah sederhana) akan memuluskan upaya Pemerintah Indonesia mengurangi angka backlog secara tajam. Lebih jauh, kalaupun nantinya skema Tapera cenderung menomorduakan MBR yang tidak bankable ataupun tidak berwatak sosial seperti halnya BPJS Kesehatan, setidaknya kombinasi tersebut masih bisa berbuat banyak mengurangi backlog.
Saat ini, Panja RUU Tapera tengah intensif merampungkan pembahasan. Dan bila selesai, sudah tentu RUU Tapera segera disahkan menjadi undang-undang di Sidang Paripurna DPR RI. Untuk lalu ditandatangani Presiden RI. Mengingat karakter pembahasan RUU di DPR RI yang cenderung lama karena penuh oleh kalkulasi politik dari banyak pihak, bukan tidak mungkin pembahasan RUU Tapera masih cukup lama. Dan ujung-ujungnya, pengesahan RUU tersebut menjadi undang-undang, tidak berlangsung di pemerintahan hasil Pemilihan Umum Tahun 2014.
Namun sudah tentu bahwa kelahiran skema Tapera ditunggu oleh mereka yang kini sulit memunyai rumah sederhana. Maka, siapapun legislator ataupun eksekutif pemerintahan yang terpilih oleh Pemilihan Umum Tahun 2014, punya kewajiban moral untuk terus menggelindingkan skema Tapera.
Dan sudah tentu, masyarakat menaruh harapan besar agar skema Tapera punya watak sosial nan kental seperti halnya BPJS Kesehatan yang direncanakan mulai beroperasi tahun 2014 itu. Skema Tapera harus semaksimal mungkin mengandung komponen subsidi dari Pemerintah Indonesia ataupun warga mampu ke warga miskin—tanpa menafikan fakta bahwa bagaimanapun sektor perumahan rakyat mengandung banyak aspek bisnis. Itu agar BPJS perumahan rakyat lahir mendampingi BPJS Kesehatan. Semoga Yang Ilahi membimbing kita semua ke arah tersebut.
*Penulis, Achmad Adhito, adalah Wartawan. Menulis Buku “Jangan Ambil KPR Sekarang” dan Lokasi Emas Properti” Bersama Pakar Properti Budi Santoso.
Tulisan Ini Dibuat Menjelang Awal Operasi BPJS Kesehatan di Awal 2014