Percepatan Infrastruktur, Jangan Lupa Land Bank Rumah!*

Pembangunan Infrastruktur Transportasi di Jakarta (Foto: Adhito)
Pembangunan Infrastruktur Transportasi di Jakarta (Foto: Adhito)

*Oleh Achmad Adhito, Kolumnis/Researcher Tamu

Pemerintah Indonesia terus mengintensifkan pengadaan infrastuktur nasional, untuk memercepat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Di samping naik drastisnya anggaran infrastruktur akibat pencabutan subsidi bahan bakar minyak, stimulus lain banyak diguyurkan.

Satu di antara itu adalah menguatkan koordinasi percepatan tersebut. Lebih persisnya, Pemerintah Indonesia telah membentuk Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP).

Kita bisa mengatakan bahwa, untuk percepatan sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN), komite tersebut menjadi sebuah lembaga lintas koordinasi yang berperan sangat luas. Persisnya, KPPIP akan menfasilitasi upaya membereskan masalah penyediaan infrastruktur prioritas. Itu dalam hal sebagai berikut: perizinan dan nonperizinan; pengadaan barang/jasa Pemerintah Indonesia; dan lain-lain.

Satu hal menarik, komite itu juga punya tugas yang sebenarnya bersinggungan dengan sektor perumahan rakyat. Yakni: memercepat penyediaan tanah. Dalam hal ini, KPPIP dapat mendukung badan usaha dalam menyediakan tanah, seperti dalam penyediaan tanah dan penggunaan tanah milik Pemerintah Indonesia. Dana pengadaan tanah dapat dibayarkan oleh badan usaha, dan dapat dibayarkan kembali oleh APBN/APBD. Nah, pembayaran ini dapat disertakan sebagai biaya investasi.

Masih Parsial?
Pada jeda ini, barangkali pemangku kepentingan perumahan rakyat berpikir: lalu bagaimana dengan nasib bank tanah (land bank) perumahan dalam program percepatan infrastruktur? Bukankah urusan perumahan rakyat sudah satu paket dengan infrastruktur, yakni ditangani Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)? Dalam hal itu, bagaimana peran KPPIP untuk memercepat pengadaan ataupun penzonaan tanah perumahan rakyat?

Seribu satu sayang, berdasarkan pengamatan penulis, bank tanah itu belum difasilitasi oleh tim tersebut. Sementara itu, di dalam tubuh KPPIP, ada pejabat yang perannya bisa terhubung erat dengan bank tanah itu, seperti menteri perencanaan pembangunan nasional, menteri agraria dan tata ruang, menteri keuangan, dan lain-lain.

Jadi, dalam hal ini, Pemerintah Indonesia cenderung memandang percepatan infrastruktur sebagai hal yang terpisah dengan sektor perumahan rakyat. Lebih rincinya, berasumsi: “Tatkala infrastruktur bertambah cepat dan pertumbuhan ekonomi meningkat, niscaya pendapatan masyarakat naik. Dan daya beli rumah murah akan naik dengan sendirinya.”

Paradigma trickle down effect ini—kalau tidak keliru menyebut demikian—memang ada tepatnya. Akan tetapi, sekaligus terlalu menyerahkan pengadaan tanah rumah murah kepada mekanisme pasar bebas.

Dalam hal ini, percepatan infrastruktur di sebuah kawasan, bisa meningkatkan daya beli masyakarat berpenghasilan rendah (MBR) di sana. Tetapi yang ironinya, bukankah otomatis percepatan itu berpotensi besar menaikkan harga lahan sekaligus rumah murah di sana? Maka dari itu, celah antara kenaikan daya beli MBR dengan harga rumah murah, berpotensi tetap terjadi.

Lain halnya bila dalam percepatan itu, Pemerintah Indonesia sekaligus menggulirkan konsolidasi lahan untuk rumah murah. Persisnya, di lokasi sekitar infrastruktur prioritas (jalan tol, pembangkit listrik, pelabuhan, dan lain-lain), ada baiknya sekaligus menggelar semacam penguncian NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) tanah, khususnya yang diprioritaskan untuk pembangunan rumah murah.

Walhasil, saat daya belinya naik, MBR di kawasan tersebut tidak harus membeli rumah murah yang harganya sudah naik tajam akibat kenaikan harga tanah tersebut.

Perlu Lembaga Super
Lebih jauh dari itu, sudah waktunya bagi Pemerintah Indonesia untuk menggulirkan dengan cepat adanya sebuah lembaga super di bidang perumahan rakyat. Bila diibaratkan, sektor perumahan rakyat memerlukan adanya sebuah “Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Perumahan Rakyat”. Adalah lembaga super tersebut yang berperan besar dalam banyak hal di sektor perumahan rakyat, termasuk mengonsolidasikan bank tanah.

Perkembangan terakhir, di kalangan Kementerian PUPR,berembus kabar bahwa Pemerintah Indonesia akan menetapkan Perumnas sebagai lembaga super tersebut. Bila benar, kita semua pantas untuk menyambut hangat. Sebab, sejatinya, peran vital Perumnas dikembalikan seperti semula.

Dengan adanya lembaga super itu, mekanisme pasar perumahan rakyat Indonesia nantinya bisa bersifat dualistik. Persisnya, ada proteksi dari Pemerintah Indonesia terhadap rumah untuk MBR. Di sisi lain, pasar rumah menengah ke atas, akan menempuh asas pasar bebas.

Akhir kata, terobosan Pemerintah Indonesia dalam menstimulus daya beli MBR, sejauh ini sudah memerlihatkan hasil cukup baik. Keringanan uang muka KPR, subsidi bunga KPR selama masa angsuran, dan lain-lain, berhasil mendongkrak penjualan rumah murah dalam beberapa bulan. Tercatat, saat ini jumlah rumah murah di tahun ini di angka 350.000-an unit, padahal Program Sejuta Rumah baru diluncurkan di April 2015—bukan sedari awal tahun. Di masa terdahulu, angka terbesar di kisaran 200.000-an unit sepanjang tahun.

Satu langkah terbangun apik, maka mengapa pula langkah berikutnya berupa pengintegrasian percepatan infrastruktur dengan sektor perumahan rakyat, tidak berlangsung? Atau lebih dari itu, mengapa pula “OJK-nya Perumahan Rakyat” itu tidak segera dibentuk?

Iklan

Tinggalkan Komentar Anda

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s