
Oleh Budi Santoso, Konsultan/Trainer
Sejarah kota dimulai sejak 3500 SM pada muara Sungai Nil, Suriah dan Mesopotamia (Leonardo Benevolo, 1980). Yang membedakan kota dengan desa ialah para penduduknya tidak lagi terkait dengan kegiatan di bidang pertanian. Mereka datang dari berbagai profesi seperti pedagang, pengrajin, prajurit hingga pendeta.
Kota terus tumbuh dan berkembang, dan sekarang dibedakan dalam beberapa klasifikasi: kota kecil, kota menengah, kota besar, kota metrópolis hingga kota mega (megacity). Abad ke-21 ini bahkan telah dicanangkan sebagai abad perkotaan, di mana untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia akan ada lebih dari setengah penduduk bumi tinggal di daerah perkotaan.
Pertumbuhan dan perkembangan kota jelas memerlukan suatu perencanaan yang matang. Tujuannya selain untuk menata kota menjadi indah, para warganya pun dapat hidup dan beraktivitas secara aman dan nyaman.
Namun, sulit dipungkiri bahwa dalam merencanakan dan membangun kota tidaklah sama dengan rumah atau gedung. Dinamika dan persoalan kota begitu cepat lagi kompleks, sehingga berbagai kemencengan, kesalahan, dan kekeliruan kerap terjadi. Keprihatan inilah yang pernah diungkap oleh Rick Bishop dalam bukunya What’s Wrong with Planning (2002).
Apalagi jika dalam perencanaan kota tersebut disusun tanpa visi yang jelas, di mana potensi unggulan maupun masalah pokoknya tidak diuangkap secara tajam. Lalu pembangunan berlangsung bersifat sporadis ibarat loncatan katak. Siapa yang sudah siap dengan dana, langsung bisa membangun tanpa mesti menunggu atau mengacu pada rencana umum tata ruang, rencana detail, atau rencana teknis yang telah dibuat oleh aparat pemerintah kota.
Sebagai pakar perkotaan yang berpengalaman lebih 40 tahun, Prof. Eko Budihardjo tentu paham mengenai kota-kota di Indonesia memanglah seperti demikian. Dialah yang selalu memprovokasi sejak lama, bahwa jangan-jangan perencanaan kota yang tadinya ingin mewujudkan city of tommorow malah berubah jadi city of sorrow, atau metrópolis beralih rupa jadi miseropolis. Artinya, kota-kota yang dicanangkan sebagai kota harapan masa depan justru menjelma kota yang menyengsarakan. Kota-kota besar saat ini malah disinyalir lebih mirip sebagai human zoo (halaman 2 dan 10 dari Buku Reformasi Perkotaan).
Dalam bahasa ilmiah, dengan mengutip pernyataan Prof. John Rennie Short dalam bukunya Cities and Nature (2008), bahwa fenomena semacam itu disebut urbanisme yang brutal. Para pengembang dituding berkolusi dengan pejabat dan politisi dalam mengembangkan kawasan perkotaan secara ekstensif dan sistemik dengan skala gigantik-gargatuan, merusak ekologi perkotaan (halaman 75).
Menyinggung ekologi perkotaan pasti terkait dengan pembangunan kota hijau (green city). Prof. Eko pun tidak luput membahasnya dalam buku ini (halaman 71–91). Gerakan kota hijau yang gegap-gempita pada pertengahan tahun 2000-an yang disebut oleh pakar perkotaan Tudelson (2007) sebagai Revolusi Hijau, sebenarnya sudah dirintis empat dasarwarsa silam.
Pada tahun 1970 terbit buku suci lingkungan berjudul Whole Earth Catalog dengan pernyataan penting berikut: “Kita, selaku manusia, seperti dewa-dewa, jadi sebaiknya kita harus memperlakukan bumi dengan baik. Kalau tidak, kita akan mengubah planet yang surgawi ini menjadi neraka.”
Dalam membangun kota hijau, tidak cukup dengan kecerdasan intelektual, emosional, dan spritual, melainkan perlu ditambah –meminjam istilah dari reporter New York Times dalam bukunya Ecological Intelligence (2009)– dengan kecerdasan ekologis. Banyak perilaku dan tindakan manusia di segenap pelosok dunia telah mengakibatkan bencana berupa defisit ekologis yang sangat membahayakan eksistensi planet bumi dengan segala isinya.
Gerakan kota hijau telah berimbas pula ke tanah air kita. Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 2008 menginisiasinya melalui Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) sebagai amanat UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Menteri Joko Kirmanto mengatakan, bahwa sebanyak 112 kota menyepakati untuk membangun kota hijau (actual.co, 08/11/2012). Artinya, ini baru 22 persen dari 502 kota yang tersebar di Nusantara.
Membaca buku Reformasi Perkotaan ini seolah-olah kita membaca ensiklopedia perkotaan dengan seribu literatur sebagai rujukannya. Begitu kaya dan menarik, karena disajikan dalam gaya bahasa menawan. Indonesia memiliki banyak pakar perkotaan dan perencana kota, tapi hanya sedikit yang mau menulis dalam bentuk buku dan artikel. Prof. Eko tergolong yang sedikit itu, bahkan yang paling produktif.
Buku ini merupakan artikel Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro tersebut yang dimuat di kolom opini harian Kompas pada Era Reformasi (1998–2014). Semua sebanyak 31 artikel, yang dibagi dalam lima bab, yaitu: Masalah Laten Perkotaan, Demokratisasi Perkotaan, Kekurangpekaan Terhadap Keseimbangan Ekologis, Keunikan dan Jatidiri Kota, serta Perumahan dan Otonomi Daerah.
Sebagai catatan tambahan, barangkali ini yang kurang dielaborasi dari buku setebal 212 halaman, adalah mengenai kota cerdas (smart city) dan kota kreatif (creative city) sebagai bentuk reformasi perkotaan kini dan mendatang yang menjadi trend-setter global. Kota cerdas lebih mengandalkan pada kecanggihan ilmu dan teknologi, sementara kota kreatif pada ide, visi, dan warisan budaya yang bernilai luhur. Keduanya tetap pada tujuan sama guna menciptakan kota yang aman, nyaman, efisien sekaligus dinamis dan produktif.
Meskipun demikian, bagi para pemimpin kota beserta pakar perencananya patut membaca buku ini. Sebab, di dalamnya terdapat berbagai inspirasi dan kiat dalam menangkal perencanaan dan pembangunan kota amburadul yang berujung pada kota sengsara.
Kita semua berharap –dan ini pesan Prof. Eko dalam kata pengantarnya– agar jangan membiarkan kota-kota di Indonesia menjadi tidak jelas ataupun centang-perenang tidak karuan, metrópolis menjadi miseropolis, hanya karena membiarkan The Big Boys (penguasa lalim dan pengusaha hitam) merajalela membangun kota dengan seenaknya.
Artikel Ini Merupakan Resensi Buku Reformasi Perkotaan; Ditampilkan di Situs Ini menjelang Pilkada Serentak 2015 dan Dimaksudkan Sebagai Masukan ke Para Kepala Daerah Terpilih; Ditulis Dua Minggu Sebelum Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc Wafat 22 Juli 2014