Stimulus Sektor Properti*

Sumber Ilustrasi: Istimewa
Sumber Ilustrasi: Istimewa

Sektor properti dalam setahun terakhir memang dalam kondisi lesu. Beberapa indikator di antaranya dapat dilihat secara kasat mata seperti sepinya pengunjung pameran, pembangunan konstruksi gedung yang tidak lagi marak, dan transaksi di pasar yang terus menurun.

Dari sejumlah sumber disebutkan, bahwa pasar primer properti sepanjang tahun 2015 anjlok sekitar 40 persen, dan pasar sekundernya 50 persen. Jika kondisi tersebut dibiarkan saja bukan tidak mungkin tahun depan akan mengalami kejatuhan (crash property).

Guna menggerakkan ekonomi dan melindungi masyarakat berpendapat rendah akibat pelemahan ekonomi nasional, pemerintah telah meluncurkan paket kebijakan ekonomi, yang kini sudah pada tahap ketiga. Pada paket pertama butir 3 paket tersebut tertulis: Meningkatkan investasi di bidang properti. Memperbanyak peluang diversifikasi.

Belum dijelas lebih rinci apa-apa saja stimulus (pendorong atau rangsangan) yang akan dikeluarkan pemerintah agar properti bangkit kembali. Namun, penulis mencoba memberikan tiga alternatif stimulus berdasarkan wacana hangat dalam setahun terakhir ini.

Pertama, wacana mengenai kepemilikan properti bagi orang asing. Wapres Jusuf Kalla dan Menkeu Bambang PS Brodjonegoro pernah melontarkannya. Kata mereka, properti itu adalah unit apartemen mewah seharga di atas Rp 5 miliar, bukan rumah tapak (landed house), dan itu sangat baik untuk membantu sektor properti.

Dari hitung-hitungan ekonomi, jika ini bisa diterapkan, sebenarnya negara akan diuntungkan dari perolehan pajak-pajak, yaitu pajak pertambahan nilai (PPN), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan pajak pertambahan nilai barang mewah (PPnBM) yang totalnya 35 persen. Misal, dalam setahun terjadi transaksi pembelian sebanyak 5 ribu unit apartemen seharga Rp 5 miliar per unit, maka pajak yang diterima negara sekitar Rp 8,75 triliun per tahun.

Belum lagi atas maraknya pembangunan properti (apartemen) baru terhadap peningkatan tenaga kerja dan pergerakkan roda ekonomi domestik. Sebab, sektor properti berpengaruh langsung terhadap perusahaan kontraktor, konsultan teknik dan ratusan pabrik macam semen, pasir, batubata/celcon, cat, pipa, paku, besi, lampu, furnitur dan lainnya.

Namun, apakah itu mungkin? Tampaknya agak sulit. Sebab, pemerintah dan DPR harus merivisi dulu UU No.5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan UU No.20/2011 tentang Rumah Susun. Kalaupun mau dipaksakan, bisa saja Presiden Jokowi menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) tentang orang asing dapat membeli apartemen mewah di negeri ini.

 

 

Terbaru! Dapatkan di Toko Buku Gramedia Se-Indonesia!
Terbaru! Dapatkan di Toko Buku Gramedia Se-Indonesia!

 

 

Wacana kedua adalah Program Sejuta Rumah yang dicanangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Program ini amat mengejutkan sekaligus ambisius, karena JK mematok pembangunan perumahan yang mencapai satu juta unit setiap tahunnya. Kalau tidak digenjot sedemikian rupa, lanjut JK, kekurangan rumah tidak akan terselesaikan (majalah Indonesia Housing edisi 11/2015).

Perlu diketahui, bahwa kebutuhan rumah per tahun mencapai 800.000 unit, sementara yang sanggup dibangun oleh pemerintah dan swasta (pengembang) sekitar 200.000 unit, atau 25 persen. Selain itu, secara kumulatif masih ada kekurangan rumah (backlog) sekitar 15 juta unit. Dengan kondisi yang ada seperti saat ini, maka pemerintah dan swasta perlu waktu 75 tahun membangun rumah untuk menutupi defisit tersebut.

Dalam upaya merealisasikan Program Sejuta Rumah, pemerintah akan melakukan berbagai langkah, seperti memastikan keberadaan sumber-sumber pembiayaan, ketersediaan lahan, serta pemberian kemudahan terkait perizinan dan perpajakan.

Mudah-mudahan langkah-langkah ini lebih dikongkritkan lagi. Untuk ketersediaan lahan dan izin-izin pembangunan yang menjadi wewenang pemerintah daerah merupakan dua hal yang paling sulit diatasi oleh para pengembang properti.

Itulah alasan utama kenapa  Program Seribu Tower rumah susun sederhana hak milik (rusunami) pada era pemerintahan SBY–JK tidak berhasil dan bahkan mati suri. Meskipun ketika itu sudah diterbitkan Keppres No. 22/2006 tentang Tim Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan.

Wacana ketiga adalah mengenai Rancangan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (RUU Taperum) yang saat ini belum jelas lagi kelanjutannya. Berbicara mengenai Taperum, penulis teringat soal ini pernah dicetuskan oleh Ciputra, sang maestro properti, sekitar tahun 1996. Dia merujuk pada keberhasilan Central Provident Fund (CPF) di Singapura yang didirikan tahun 1965. Lembaga ini menghimpun dana para karyawan swasta yang dipotong dari gaji, kemudian digunakan untuk pembangunan perumahan serta sosial ekonomi (social security system). Lebih dari 80 persen pengadaaan perumahan karyawan swasta di sana dilakukan oleh CPF.

Nah, jika pemerintah di sini ingin menggerakkan sektor properti, maka sebaiknya segeralah mempercepat dan mensahkan RUU Taperum. Dengan berlakunya undang-undang ini diharapkan pembangunan rumah rakyat dapat lebih marak dan masif lagi.

Sebagai penutup, perlu diketahui pula, bahwa kondisi makro ekonomi nasional ibarat lokomotif pada sebuah kereta, sementara sektor properti adalah salah satu gerbongnya. Apabila perekonomian nasional maju cepat dan bergairah, maka bisnis properti ikutan melaju cepat dan bergairah. Demikian pula sebaiknya.

*Penulis, Budi Santoso, adalah Konsultan/Trainer Properti

Iklan

Tinggalkan Komentar Anda

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s