Sumber Ilustrasi: Istimewa
Oleh Budi Santoso, Konsultan/Trainer
Disahkannya UU Tapera (Undang-Undang tentang Tabungan Perumahan Rakyat) sebenarnya merupakan proses yang cukup panjang, yakni sejak enam tahun lalu. Pada tahun 2014, di masa pemerintahan SBY–Boediono, RUU ini sudah mencuat ke publik dan dibahas di DPR. Barangkali karena di penghujung kekuasaan, sementara anggota DPR sendiri sibuk dengan pemilihan legislatif (pileg), RUU Tapera kembali tenggelam.
Baru pada pemerintahan Jokowi–JK, dengan ketekadannya guna mewujudkan butir kelima dari dari Nawa Cita (Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia) akhirnya disahkan dan mulai berlaku Maret 2016, sementara Peraturan Pemerintah (PP)-nya akan dirumuskan selama dua tahun ke depan.
Sejak Tahun 1990-an
Bila ditarik benang merah sejarah, wacana mengenai pentingnya “Tabungan Perumahan” sudah berlangsung sejak tahun 1990an. Salah seorang yang mencetuskannya adalah Ir. Ciputra, begawan properti Indonesia.
Dalam buku bertajuk Pembangunan Perumahan dalam Perspfektif Pemerataan dan Pengentasan Kemiskinan (1996), dia mengusulkan suatu program yang dinamakan Tabungan Perumahan Karyawan Perusahaan (TPKP). Dengan jumlah pekerja ketika mencapai 25,5 juta orang, melalui TPKP akan terkumpul dana mencapai triliun rupiah, dan ini dapat menjadi alternatif bagi pembiayaan pengadaan perumahan.
Program TPKP tersebut akan bermanfaat bagi semua pihak. Bagi karyawan, mereka mendapat perumahan lebih cepat, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bagi perusahaan, karyawan dapat bekerja dengan lebih tenang, sehingga produktifitas dapat meningkat. Bagi pemerintah, maka penyediaan perumahan bagi masyarakat dengan layak tanpa harus mengeluarkan dana untuk pembiayaannya, sehingga dana pemerintah dapat dialokasikan ke sektor lain yang memerlukan prioritas tinggi. Usulan Ciputra di atas mengacu pada keberhasilan yang dicapai oleh Singapura melalui program Central Provident Fund (CPF) yang didirikan tahun 1955, di mana tugas utamanya adalah menyediakan perumahan bagi karyawan swasta.
Dengan lebih kurang 1,2 juta karyawan swasta yang bekerja di 90.000 perusahaan, terkumpul sekitar S$ 46 miliar (atau setara Rp 72 triliun saat itu tahun 1995). Dengan dana yang dikelola sebesar itu pengadaan perumahaan karyawan yang dibiayai oleh CPF mencapai 80%, dan 20% lainnya oleh pembiayaan pengusaha/pengembang swasta.
Masih Kontroversi
Lahirnya Tapera bisa jadi mengadopsi program CPF Singapura meskipun tidak sama persis. Tujuan Tapera ialah menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.
Sebagaimana diketahui, kebutuhan rumah di tanah air sebanyak 800.000 unit per tahun, dan masih ada kekurangan rumah (backlog) sebesar 13,5 juta unit. Jadi, sangat wajar dan punya alasan kuat bagi pemerintah untuk terus menggenjot pemenuhan dasar manusia yang salah satunya melalui diterbitkan undang-undang.
Dari kepesertaan Tapera, selain WNI juga WNA pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia paling singkat enam bulan yang telah membayar simpanan. Dengan jumlah pekerja swsata (di sektor formal) sekitar 40 juta orang dan tenaga kerja asing (TKA) sekitar 70.000 orang, dapat diasumsikan dana yang terkumpul mencapai ratusan triliun.
Dana yang nantinya dikelola oleh Badan Pengelola (BP) Tapera ini akan bertambah besar dengan ditambah iuran dari 4,5 juta pegawai negeri sipil (PNS) dan dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebesar Rp 33 triliun.
Secara normatif, bila BP Tapera ini nantinya bekerja profesional dan amanah, masalah perumahaan yang selalu menjadi masalah pelik dalam kurun dua dekade terakhir diharapkan bisa terpecahkan.
Namun, terbitnya UU Tapera di awal sudah menjadi kontroversi dan pertentangan dari sejumlah kalangan, khususnya para pengusaha dan sebagian karyawan. Alasan utamanya adalah iuran simpanan kepesertaan Tapera yang dinilai memberatkan dan berpotensi melemahkan daya saing usaha. Bahkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Aprindo) berupaya melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Tapera.
Yah, tentunya kita berharap UU Tapera patut disayang karena masih banyak karyawan yang mengimpikan memiliki rumah sendiri, tetapi jangan akhirnya bernasib malang di mana akhirnya kandas di MK. *