Oleh Achmad Adhito, Kolumnis Tamu
Gemuruh Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta (Pilkada DKI Jakarta) ditabuh kencang oleh banyak kalangan. Sementara, kalau kita berpikir lebih detil, memang banyak hal terlalu dini yang ada. Semisal, partai politik yang jumlah kursinya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta (DPRD Jakarta) kisaran 10 biji, menyatakan mengusung calon A. Padahal, berdasarkan aturan, syarat minimal sebuah partai bisa mencalonkan kandidat, adalah punya 22 kursi tersebut. Dengan ketentuan ini, sudah tentu calon tersebut untuk bisa terdaftar sebagai kandidat, tidak mudah. Sebab, partai yang mencalonkan sudah tentu harus berkoalisi dengan partai lain, yang sangat mungkin menyodorkan kandidat lain.
Kandidat lain, memilih jalur independen. Ini tentu tidak mudah. Pasalnya, jumlah pemilih terdaftar di Pilkada DKI 2014, di kisaran 7,5 juta orang. Berarti sampai Agustus, kandidat independen harus mengumpulkan sekira 6,5% sampai 7,5% dukungan, dari total jumlah pemilih itu.
Terlepas dari itu, satu hal yang menarik bagi kita yakni meneropong ada atau tidaknya perubahan budaya politik kita menjelang Pilkada tersebut. Ini penting mengingat Pilkada di Ibu Kota sudah tentu menjadi barometer politik nasional. Seperti apa berjalannya Pilkada DKI Jakarta, bisa menjadi bola salju bergulir bagi perpolitikan nasional selanjutnya.
Sudah tentu, apa yang dikatakan budaya politik, sangatlah luas pembahasannya. Maka terlebih dulu, penulis akan membatasi definisi budaya politik. Secara singkat, budaya adalah kumpulan nilai ataupun norma dalam bertindak dan berperilaku dalam keseharian. Politik adalah aktivitas pengaruh-memengaruhi kekuasaan. Dalam hal ini, budaya politik di Pilkada DKI, didefinisikan sebagai karakter bertindak/berperilaku elit politik, dalam upaya mengontrol kekuasaan melalui Pilkada DKI.Kemudian, marilah kita mengerucutkan lagi definisi budaya politik, dalam lingkup ini: pendanaan bagi aktivitas politik di Pilkada DKI.
Lalu apa kaitannya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi RI (KPK)? Jawabnya mudah, yakni terkait aktivitas pendanaan politik. Persisnya begini, berdasarkan Undang-undang KPK,sangat jelas bahwa KPK merupakan lembaga super di bidang pencegahan di samping penindakan tindak pidana korupsi. Nah, dengan wewenang mencegah tindak pidana korupsi (tipikor) itulah, KPK dapat berperan besar membentuk budaya politik yang lebih sehat ataupun transparan di DKI Jakarta.
Melalui pengawasan dan pemonitoran intensif terhadap dana kampanye di Pillkada DKI oleh KPK, embrio sebuah budaya politik yang lebih transparan dan berdasarkan rasionalitas, bisa terbentuk di medan barometer politik nasional. Dari ranah barometer tersebut, lantas bisa bergulir ke Pilkada lainnya. Bahkan sangat mungkin lantas bergulir ke Pemilihan Umum Tahun 2019 dan selanjutnya.
Saat ini, sudah menjadi pengetahuan publik bahwa dalam sebuah pemilihan eksekutif pemerintahan, peran dana kampanye yang tersamar, sangat besar.Lebih jauh lagi, sponsor politik yang berwujud “invisible hand”, bisa berperan dalam proses politik. Sebuah politik transaksional terjadi dalam hal ini. Selanjutnya, otomatis bahwa eksekutif pemerintahan yang terpilih, ruang manuvernya pasti sedikit-banyak mendapatkan distorsi dari tangan-tangan yang tidak terlihat itu. Atau juga, pemerintahannya harus banyak mengakomodasi kebijakan yang bukan murni berdasarkan nurani publik; dalam hal ini, kita jangan melupakan bahwa hakikat mendasar partai politik ataupun eksekutif pemerintahan, sebenarnya yakni sebagai artikulator sekaligus agregator publik secara luas.
KPK saat ini, berdasarkan pengamatan penulis, belum terlihat masuk ke medan tersebut. Belum ada pertemuan intensif dengan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) menjelang Pilkada DKI. Belum ada pertemuan intensif petinggi KPK dengan petinggi partai politik. Belum ada pertemuan intensif dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Belum ada pertemuan intensif yang substansinya mendongkrak tajam pengawasan intensif dana kampanye, demi terbentuknya budaya politik yang lebih transparan dan sehat di Pilkada DKI. Dalam hal ini, sangat disayangkan bahwa KPK menjadi lembaga super yang tidak menggunakan penuh otoritasnya yang besar itu. Dan kalau budaya politik transaksional bergulir mulus, publik seyogianya jangan terlalu banyak berharap bahwa pemerintahan 101% bersih akan terwujud dalam waktu dekat.
Pula, dalam lingkup ini, izinkanlah penulis melontarkan kritik terhadap jajaran elit politik yang sampai diturunkannya kolom ini, belum terlihat menginisiasi upaya membentuk budaya politik lebih sehat melalui proses monitor yang lebih ketat dan rinci terhadap dana kampanye itu.
Di sini, dalam benak penulis, muncul pertanyaan, apakah elit politik yang masuk di medan Pilkada DKI, bisa dikategorikan sebagai penyelenggara negara sehingga KPK perlu mengawasi dan memonitor dana kampanyenya? Hal seperti ini memang bisa menjadi wilayah abu-abu. Tetapi, bukankah bisa saja pasal-pasal di undang-undang tertentu, menjadi pengabsahan masuknya KPK ke langkah tersebut? Semisal, pasal/ayat awal di Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setahu penulis menjabarkan bahwa bila seseorang menerima gaji ataupun upah dari keuangan negara ataupun daerah, dapat dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Nah, tatkala partai politik mendapat dana bantuan dari anggaran Pemerintah Daerah, barangkali sudah tergolong penyelenggara negara sehingga aktivitasnya terkait dana kampanye Pilkada DKI, perlu dimonitor oleh KPK?
Suatu perubahan budaya politik memang perlu proses panjang, dan biasanya berjalan evolutif. Bahkan tatkala sebuah struktur politik sudah diformat untuk paralel dengan proses demokratisasi, tetap saja akan ada semacam kesenjangan antara struktur politik ideal dengan budaya politik yang ada—hal yang disebut terakhir, terlihat jelas dalam proses reformasi di RI yang sudah berjalan sejak 1998. Tetapi bukan berarti kita tidak perlu melakukan apapun dan apatis terhadap budaya politik yang terdistorsi, bukan?
Akhir kata, apakah dengan tidak adanya proses monitor lebih ketat dan rinci terhadap dana kampanye Pilkada DKI, pemerintahan periode selanjutnya di Ibu Kota RI masih tersandera oleh budaya politik transaksional yang sadar-tidak telah ia setujui sedari awal? Ataukah, pemerintahan selanjutnya berani menarik garis pembatas sangat tegas dengan budaya politik transaksional, sekalipun diorbitkan dari situ? Ataukah, harus berjalan strategis dalam arti mengorbankan prinsip tertentu demi sebuah rencana induk besar, yang harus digelar bertahap?
*Tulisan Ini Merupakan Pendapat Pribadi