Oleh Budi Santoso, Konsultan/Trainer
Tertangkapnya Anggota DPRD M. Sanusi dan Direktur Utama PT. Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja oleh Komisi Pemberantasan Komisi (KPK) akhirnya menguak kembali sisi gelap proyek reklamasi di Pantai Utara (Pantura) Jakarta.
Bila ditarik benang merah sejarah selama dua dekade terakhir, proyek tersebut memang sedari awal mengundang kontroversi sekaligus ironi. Sebab, kepentingan terselubung antara para penguasa dan pengusaha lebih besar ketimbang kemanfaatan bagi masyarakat luas. Maka tidaklah berlebihan KPK menyebut kasus ini sebagai grand corruption.
Mutiara terpendam
Pantura Jakarta sejak tahun 1990-an sudah dilirik sejumlah pihak, khususnya ketika bisnis properti kala itu tengah marak-maraknya. Ia diibaratkan sebagai mutiara terpendam yang bila diangkat dan dipoles akan berharga tinggi.
Oleh karena itu, Presiden Suharto tidak ragu-ragu menerbitkan Keppres No. 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara, yang isinya juga memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada Gubernur DKI Jakarta untuk menyelenggarakan reklamasi. Langkah konkritnya, Badan Pengelola (BP) Pantura dibentuk di tahun yang sama guna mengelola dan mengkoordinasikan pembangunan di sana.
Kabar yang beredar, tidak kurang dari sepuluh perusahaan besar, termasuk dari kalangan keluarga presiden, yang siap menggarapnya. Bahkan masing-masing telah membagi kaveling-kaveling di atas lahan reklamasi sesuai besaran dana investasi yang ditanam. Sulit untuk tidak menyebutkan, bahwa proyek itu amat kental dengan praktik KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotisme).
Rencana reklamasi di Pantura mencapai 2.700 hektar atau sepanjang 32 kilometer dengan lebar rata-rata 1,5 kilometer, dan memerlukan timbunan sebanyak 200 juta meter kubik.
Dengan reklamasi sebesar itu tentu saja mengkhawatirkan, terutama dari kehidupan masyarakat pesisir yang bakal tergusur dan ekosistem laut yang menjadi sangat kurang bagus. Namun, dengan “kekuatan” yang sulit dibendung oleh siapapun, proyek tersebut terus berjalan, kendati sempat macet selama krisis moneter 1997–1998.
Pada tahun 2000, penulis pernah diundang secara pribadi oleh Ir. M. Sidharta, Kepala BP Pantura saat itu, di kantornya di bilangan Ancol. Dia memaparkan dengan cukup lengkap rencana pengembangan, termasuk studi lingkungan yang dilakukan konsultan asing. Intinya, reklamasi pantura akan mengubah wajah Jakarta menjadi lebih kemilau bak mutiara.
Ibukota akan dijadikan wáter front city berkelas dunia sebagaimana kota-kota pantai seperti Amsterdam, Florida, Singapura, Hongkong dan Dubai.
Hanya saja, Era Reformasi telah membuat pemerintah dan sejumlah kalangan berani mengoreksi kebijakan-kebijakan yang telah diputuskan pada Era Orde Baru, termasuk soal Proyek Reklamasi Pantura Jakarta. Menteri Negara Lingkungan Hidup pun mengkaji kembali dari sisi kelengkapan AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan). Kemudian tidak sungkan-sungkan menerbitkan SK No. 14/2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan dan Revitalisasi Pantai Utara.
Melalui proses panjang gugat-menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap terbitnya SK Menteri tersebut, pada akhirnya BP Pantura secara resmi dilikuidasi oleh Pemprov DKI Jakarta pada 6 Januari 2010. Alasannya ialah mengacu pada PP No. 84/2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang harus berbentuk unit dan diawaki oleh pegawai negeri sipil (PNS). Dalam hal ini BP Pantura bukanlah unit, dan pegawai yang sebanyak 20 orang itu bukanlah PNS.
Dengan bubarnya BP Pantura bukan berarti proyek reklamasi gagal. Di masa akhir jabatan, Presiden SBY meluncurkan proyek tanggul raksasa (giant seawall) di Pantura dengan nama Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN). Presiden Jokowi melanjutkannya, karena dinilai dapat mengatasi banjir sekaligus sumber pengolahan air baku bagi Jakarta.
Proyek-proyek properti komersial dan residensial di atas lahan reklamasi tentu menjadi bagian rencana pengembangan di dalamnya.
Selaras dengan itu, Gubernur Fauzie Bowo dan Ahok tidak ketinggalan mengizinkan kepada sejumlah perusahaan untuk melaksanakan reklamasi. Rencananya akan terbentuk 17 “pulau” hasil reklamasi dengan total luas lahan 5.100 hektar dan nilai investasi Rp 300 triliun. Entah atas dasar hukum apa izin tersebut dikeluarkan.
Patuhi Hukum
M. Sanusi yang kini menjadi tersangka kasus suap guna memuluskan dua rancangan peraturan daerah (raperda), yaitu Raperda Rencana Wilayah Zonasi Pesisir Pulau-pulau Kecil (RWZP3K) 2015–2035 dan Raperda Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Peristiwa ini jelas menandakan keironian sebuah negeri bernama Indonesia.
Bagaimana tidak, “payung hukum” yang menjadi dasar atas keabsahan legal proyek reklamasi tersebut ternyata belum diuji publik dan disahkan, tetapi pelaksanaan proyek di lapangan sudah lama berlangsung.
Bahkan PT APL sendiri cukup gencar mempromosikan dan memasarkan sejumlah properti di atas lahan reklamasi, seolah-olah tidak ada masalah dengan hukum dan perizinannya. Kembali lagi, praktik KKN tidak bisa dihilangkan dalam penggarapannya.
Lalu, bagaimana baiknya? Secara obyektif, Proyek Reklamasi Pantura amat penting bagi masa depan kota Jakarta. Banyak sisi positif atas keberadaannya. Proyek ini tidak boleh dihentikan, tetapi harus diaudit secara menyeluruh. Selain pelaksanaan di lapangan mesti mematuhi rambu-rambu hukum yang berlaku, juga Pemprov DKI Jakarta perlu transparan dan tegas dalam penyelenggaraannya. Jangan karena pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan/pengembang besar, lantas Pemprov “ciut” memberikan sanksi.
Yang tidak boleh diabaikan adalah aspek masyarakat pesisir dan aspek lingkungan hidup yang selama dua dekade ini tidak cukup mendapat perhatian serius. Pemprov harus memberikan solusi komprehensif agar kedua aspek tersebut tidak melulu menjadi “batu sandungan” terhadap mega proyek ini.
Catatan Redaksi:
Kami mengundang pembaca lain yang mungkin punya pandangan berbeda, untuk menghadirkan sebuah kolom di situs ini. Dengan demikian, akan terjadi sebuah diskusi ilmiah/berbobot yang hadir untuk edukasi ke masyarakat tentang pro-kontra reklamasi ini.