Rumah Kusam pun Bisa Menghasilkan Keuntungan (2)*

Sumber Ilustrasi: Istimewa
Sumber Ilustrasi: Istimewa

 

 

 

 

 

 

 

Oleh Achmad Adhito, Kolumnis Tamu

Pembaca yang budiman, pada artikel pertama, kita telah menelaah dua faktor yang perlu dicermati manakala berinvestasi melalui rumah sekunder nan—bisa jadi—kurang terurus. Itu adalah, pertama, perlunya meneliti bagus atau tidaknya lokasi tersebut. Kedua, pas atau tidaknya harga jual rumah tersebut untuk dijadikan perkakas investasi.

Selanjutnya, di tulisan ini, marilah kita mengupas faktor lain yang perlu dicermati saat hendak berinvestasi melalui rumah tersebut.

3. Kalkulasilah Seluruh Biaya Investasi

Tatkala kita membeli properti sekunder, ada sejumlah biaya pajak nan mesti dipikul. Demikian pula saat menjual properti tersebut. Nah, dalam berinvestasi melalui rumah sekunder dengan pola beli murah-renovasi-jual kembali, sudah tentu sang investor terkena dua gelombang pajak. Saat membeli, ia mesti membayar sejumlah pajak, demikian pula nantinya bila menjual rumah itu.

Berikut ini adalah pajak-pajak tersebut:

A. BPHTB (Bea Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan)

Pajak ini mesti dibayar saat sang investor membeli rumah sekunder. Ini merupakan pajak untuk pengalihan hak pemilikan tanah ataupun bangunan dari pemilik lama ke sang investor.

Besar BPHTB turut ditentukan oleh Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPKTP) di setiap kawasan/propinsi. Untuk Kota Jakarta, besar NJOPKTP adalah Rp 60 juta.

Selanjutnya, harga transaksi rumah dikurangi dengan NJOPKTP. Hasil dari situ lantas dikalikan dengan 5%, dan menjadi BPHTB yang harus dibayarkan sang investor.

Sekarang, andaikanlah bahwa sang investor membeli rumah seharga Rp 800 juta di Jakarta—di bawah harga pasar yang Rp 1 miliar karena pemilik rumah tengah BU (butuh uang) mendesak. Maka, besar BPHTB adalah sebagai berikut:

Rp 800 juta – Rp 60 juta x 5% = Rp 37.000.00

B. Pajak Penghasilan (Pph)

Andaikanlah, setelah dibeli oleh sang investor, rumah tersebut menggaet pembeli nan kepincut. Maklum, rumah itu setelah dipermak terlihat rapi. Dan seberapakah harganya? Andaikanlah Rp 1,2 miliar!

Maka, Pajak Penghasilan ataupun Pph yang mesti dibayar sang investor adalah sebagai berikut:

5% x Rp 1,2 miliar = Rp 60 juta.

Untuk perorangan penjual rumah—sekunder ataupun primer, Pph bersifat final dan dibayarkan langsung saat transaksi. Sementara, buat pengembang yang menjual properti primer, Pph dimasukkan ke dalam Perhitungan Pajak Akhir Tahun.

3. Biaya-biaya Lain

Di samping sejumlah pajak, seorang investor perlu pula membayar sejumlah biaya lain dalam kiprahnya itu. Antara lain sebagai berikut:

A. Bea Balik Nama (BBN)

BBN atau Bea Balik Nama dibayarkan untuk pengubahan nama sertifikat rumah  dari pemilik lama ke sang investor. Di sini, sang investor selaku pembeli mesti mengurus sendiri proses pengubahan nama sertifikat itu–berlainan dengan itu, bila membeli rumah primer, pengubahan nama akan diurus oleh pihak pengembang.

BBN dibayarkan ke seorang notaris. Dan sudah tentu, besar BBN ditentukan oleh tarif yang dipasang notaris. Secara ringkas, bisa dikatakan bahwa besar BBN di kisaran Rp 1 juta.

B. Komisi untuk Agen Properti

Agar rumah yang telah direnovasi cepat terjual, sebaiknya sang investor menggunakan jasa kantor agen properti. Di samping itu, menggunakan jasa agen properti, sang investor tinggal terima beres terkait sejumlah hal seperti memasang iklan/promosi penjualan, menemani calon pembeli melihat rumah, dan lain-lain.

Besar komisi tersebut, mengacu ke standar dari AREBI (Asosiasi Real Estate Broker Indonesia) adalah  3%-an dari nilai transaksi. Maka, manakalah sang investor menjual rumah hasil renovasi senilai Rp 1,2 miliar, nilai komisi untuk agen properti adalah sebagai berikut:

3% x Rp 1,2 Miliar = Rp 36 juta

Itu adalah tarif standar.Kisahnya menjadi lain tatkala sang investor jeli memanfaatkan peluang ini: menawar persentase komisi tersebut.

Hal itu bisa dilakukan karena, saat ini, persaingan di bisnis proker properti terbilang ketat. Kadang, di satu kawasan, ada puluhan kantor agen properti. Tak ayal, para agen properti banyak yang bersedia menegosiasikan bahkan membanting harga persentase komisi tersebut—ini hal yang sebenarnya tidak dibolehkan oleh AREBI karena mengganggu pasar secara keseluruhan.

Bila sang investor piawai dalam negosiasi dengan sang broker, nilai Rp 36 juta itu bisa saja menyusut menjadi, misalnya, Rp 24 juta (besar komisi 2% dari nilai transaksi).

C. Biaya IMB Renovasi

Apakah sang investor ingin merenovasi besar-besaran rumah itu dengan mendirikan bangunan tambahan? Atau ingin mengubah lay out dalam rumah? Atau sekadar mencat ulang dan menambahkan beberapa aksesori seperti parket (pelapis kayu untuk lantai), keramik baru, dan lain-lain? Atau mengubah fasad (tampilan muka) rumah?

Dari beberapa kriteria itu, ternyata yang tidak memerlukan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) Renovasi, hanyalah bila investor hanya mencat ulang dan menambahkan aksesori. Untuk kategori yang lain, IMB Renovasi diperlukan.

Besar biaya/retribusi IMB Renovasi dihitung berdasarkan ketentuan dari pihak regulator. Di DKI Jakarta, misalnya, nilai IMB Renovasi dikalkulasi dengan patokan sebagai berikut: luas total bangunan tambahan x harga satuan.

Dan bila renovasi itu tidak menambah luas bangunan, patokannya lain lagi. Yakni: 25% x (luas total lantai yang diubah x harga satuan).

Kemudian, untuk perubahan pada fasad, patokannya adalah: 1,75% x biaya pelaksanaan perubahan.

Pun, sebelum mengajukan UMB Renovasi terkait penambahan  luas bangunan, sudah tentu sang investor mesti mencermati boleh atau tidaknya hal itu dilakukan. Cermatilah ketentuan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) ataupun KLB (Koefisien Luas Bangunan) di kawasan untuk rumah itu. Juga ketentuan tentang garis sempadan bangunan. Bila memungkinkan, maka bangunan tambahan vertikal ataupun horizontal, bisa dibuat. Bila tidak memungkinkan, berarti tidak perlu repot untuk mengajukan IMB terkait itu.

Soal IMB ini, seorang investor memang perlu ekstra cermat. Pasalnya, bisa saja banyak kejutan yang tidak diharapkan terjadi. Misalnya, harga satu rumah sekunder yang diajukan pemiliknya sedemikian “masuk”. Lokasinya pun apik, pencari rumah sekunder banyak yang gemar berburu properti di sana. Tapi ternyata, rumah tersebut belum  memunyai IMB—misalnya. Ataupun, rumah tersebut berlantai dua sementara IMB-nya hanya untuk satu lantai.

Tentu, untuk hal-hal seperti itu, seorang investor perlu berpikir ulang. Musabab hal itu, biaya, waktu, dan tenaga tambahan, tentu diperlukan. Semisal, untuk rumah sekunder yang belum memiliki IMB, biaya pengurusan dokumen tersebut bisa lebih mahal ketimbang IMB untuk rumah baru.

Satu hal yang perlu ditekankan, bila Anda selaku investor ingin mendapatkan keuntungan signifikan dengan cepat dan tanpa terlalu banyak berkeringat, seyogianya renovasi yang digelar tidak perlu besar-besaran. Cukup mencat ulang dan menambah aksesori seperti parket dan keramik tersebut.

Untuk itu, carilah rumah sekunder yang harga jualnya murah serta terlihat kurang terawat, tapi tidak terlalu memerlukan renovasi besar-besaran.

D. Biaya Renovasi

Sudah tentu, biaya renovasi tidak bisa dihindarkan dari jurus investasi yang tengah kita bicarakan. Bahkan bisa dikatakan, biaya renovasi merupakan salah satu bagian vital dari jurus investasi tersebut. Bila rumah kusam terlihat apik hanya dengan renovasi minim, bukankah potensi keuntungan investasi lebih menganga?

Untuk itu, memang sang investor mesti cermat dalam mengalkulasi biaya renovasi. Carilah biaya yang terefisien.

Semisal, untuk renovasi yang sekadar mencat ulang dan memasang keramik kamar mandi ataupun halaman, lebih murah menggunakan jasa tukang perorangan yang terampil  ataukah pemborong? Tentu jasa tukang perorangan lebih bisa murah dalam hal ini.

Kemudian, bila renovasi terbilang besar dan mesti menggunakan pemborong (yang punya mandor plus pasukan tukang), sang investor bisa memilih sistem borongan upah. Adapun material bangunan dicari sendiri demi menekan harga.

4. Sinkronisasi Semua Biaya

Sampai di sini, satu hal perlu kita tekankan bersama. Yakni, mengalkulasi sekaligus menyinkronisasi biaya-biaya investasi, tentu sangat perlu. Dengan demikian, tingkat keuntungan yang didapat bisa “masuk”.

Andai sang investor menemukan rumah sekunder dengan lokasi bagus tapi kondisinya nyaris runtuh ataupun IMB-nya tidak sesuai peruntukan, tentu riskan untuk digaet, bukan? Karena waktu ataupun biaya yang mesti digelontorkan terlalu besar.

Lain halnya bila ia bersua dengan rumah sekunder berlokasi apik yang dijual dengan harga BU oleh pemiliknya, IMB-nya sesuai peruntukan, dan hanya catnya yang kusam plus tanpa aksesori seperti parket, keramik apik, dan lain-lain. Ini rumah yang pas buat digaet.

Demikianlah sekilas paparan tentang investasi properti melalui rumah sekunder dengan jurus beli murah, renovasi, dan jual cepat. Bila Anda ulet, lihai negosiasi, pula lihai mengalkulasi, keuntungan besar bisa ditangguk dalam waktu kurang dari setahun. Keuntungan itu bisa sekitar 20%–seperti telah dijelaskan dalam artikel pertama.

Dan itu bukan bualan belaka. Di satu kota mandiri (town ship) di sekitar Jakarta, bahkan ada orang yang profesinya murni sebagai investor properti dengan pola seperti itu. Ia bisa hidup berkecukupan dari memutar uang dengan pola seperti itu. Pria muda itu tidak perlu repot mengurus perusahaannya sendiri, ataupun memeras otak-tenaga dengan bekerja di sebuah perusahaan.

Apakah Anda ingin seperti orang tersebut? Bila punya cukup modal ataupun bisa meyakinkan orang lain untuk meminjamkan modal, hanya satu pesan saya: “Anda Pasti Bisa!”

 

*Opini Ini Pernah Ditampilkan di www.flog.co.id: situs yang dikelola oleh pengamat saham Christopher Angkasa

Iklan

Tinggalkan Komentar Anda

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s