OPINI: Perlunya Perbanyakan Stimulus Pengembang

Ilustrasi/Istimewa

Oleh Achmad Adhito

Bukan main, untuk tahun 2019, pemerintah Indonesia mematok target rumah terbangun melebihi 1 juta unit. Ya, begitulah, setelah “angka keramat” 1 juta unit akhirnya tercapai pada tahun 2018, target tersebut ditambah di tahun 2019 ini.

Setelah berjalan beberapa tahun, memang Program Sejuta Rumah terus menunjukkan tren kenaikan pencapaian target. Dan menjelang berakhirnya periode pemerintahan Presiden RI Joko Widodo dan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, “angka keramat” itu akhirnya bisa dipetik.

Barangkali, ada banyak pertanyaan kritis yang bisa diajukan ke situ. Tetapi baiklah, marilah kita kini meminggirkan pertanyaan seperti itu untuk sementara. Dan melongok ke arah selanjutnya agar pemangkasan defisit pemilikan rumah bisa lebih lancar dan cepat.

Ada tiga kutub sektor pemangku kepentingan perumahan subsidi di Indonesia. Yakni: permintaan (konsumen); pembiayaan (perbankan/lembaga keuangan lain); dan pasokan (pengembang). Dan sebagai payung besar yang menaungi tiga kutub itu adalah pihak ini: pemerintah Indonesia sebagai regulator.

Kita menyambut baik bahwa, tahun-tahun terakhir ini, stimulus telah banyak diberikan pemerintah Indonesia kepada kutub “permintaan” dan “pembiayaan”. Tercatat, ada banyak stimulus untuk kutub “permintaan” seperti keringanan DP menjadi 1%; bunga 5% selama masa angsuran; dan lain-lain.

Di kutub “pembiayaan”, stimulus yang didapat adalah injeksi dana KPR FLPP kepada perbankan, fasilitas untuk menjual aset KPR subsidi melalui lembaga pembiayaan sekunder perumahan (SMF), dan yang lain-lain.

Kemudian, sejatinya, stimulus kepada kutub “pasokan” sudah ada. Ini misalnya berwujud deregulasi perizinan perumahan murah. Terlepas dari level tingkat implementasi yang bisa dikatakan tersendat, deregulasi ini menunjukkan bahwa stimulus ke kutub tersebut sudah ada ataupun berjalan.

Yang sekarang seyogianya dilakukan pemerintah Indonesia—melalui berbagai lembaga sebagai kanalnya—adalah perbanyakan jenis stimulus kepada kalangan pengembang. Dengan demikian, intensitas pasokan hunian subsidi kepada pasar, bisa lebih intensif dan terjamin.

Ketika dalam beberapa tahun mendatang sistem Tapera telah berjalan mulus dan permintaan dari konsumen bisa menderas, tentunya sangat jelas bahwa kutub “pasokan” harus diperkuat, dan hal ini bisa berlangsung melalui perbanyakan stimulus di kutub tersebut. Penguatan kutub “pasokan” bisa mengatasi kesenjangan antara tingkat permintaan dengan tingkat ketersediaan hunian subsidi, bukan?

Ada banyak stimulus tambahan yang bisa diberikan kepada kutub “pasokan”, tentunya. Itu antara lain sebagai berikut: subsidi bunga kredit konstruksi; subsidi harga tanah ataupun adanya bank tanah rumah subsidi; insentif pajak harga bangunan khusus hunian subsidi; dan lain-lain.

Akhir kata, marilah kita semua berharap bahwa sektor perumahan rakyat terus meningkat performanya, di masa mendatang. Sudah tentu, memang tidak mudah memangkas tajam defisit perumahan yang setidaknya 10 juta unit secara nasional tersebut.

Belum lagi, berbagai hal di luar sektor perumahan rakyat, sudah tentu ikut menentukan pertumbuhan sektor itu. Semisal, ketika daya beli MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) tidak tumbuh dengan baik karena stagnasi ekonomi makro, bukankah sektor perumahan rakyat ikut tersendat?

Maka yang menjadi kata kunci bagi pemerintah Indonesia dan semua pemangku kepentingan, adalah inovasi dan perbaikan secara terus-menerus. Benar begitu, bukan?

Iklan

Tinggalkan Komentar Anda

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s