OPINI: Penting, Aspek Sosbud Ibu Kota Baru

Ilustrasi: Istimewa

 

Oleh Achmad Adhito

Sejatinya, wacana pindahnya ibu kota Indonesia, bukan hal baru. Walau, akhir-akhir ini semakin mewujud nyata saat republik ini dipiloti oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Ingat bukan, bahwa di masa perjuangan kemerdekaan, ibu kota sempat berpindah ke Bukit Tinggi (Sumatera Barat)? Juga, ingat bukan bahwa, di masa perjuangan kemerdekaan, Yogyakarta sempat menjadi ibu kota?

Selain itu, beberapa kepala negara sejatinya sempat menggaungkan rencana memindahkan ibu kota. Mereka adalah Soekarno, Soeharto, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dan memang, di masa pemerintahan yang sekaranglah, rencana tersebut semakin bergulir nyata.

*****

Ketika kita simak, terlihat bahwa rencana memindahkan ibu kota oleh sejumlah kepala negara, punya benang merah tertentu. Satu di antara itu sangat penting, yakni demi menguatkan integrasi di antara masyarakat Indonesia.

Di sini, sangat gamblang bahwa faktor sosbud (sosial budaya) menjadi salah satu kata kunci di balik rencana memindahkan ibu kota. Secara singkat, lewat rencana tersebut, para kepala negara itu ingin agar ‘pendulum’ bagi masyarakat Indonesia tidak terlalu berat ke Pulau Jawa.

Selain faktor sosbud, sudah tentu faktor demografi, ekonomi, dan lain-lain, sangat penting dalam pemindahan ibu kota, bukan? Terlepas dari itu, di opini ini, marilah sejenak membahas pentingnya faktor sosbud lebih diperhatikan ketika ibu kota baru untuk Indonesia, kian mengkristal mewujud di akhir-akhir ini.

Pertama kali, mari kita berangkat dari asumsi bahwa Samarinda (Kalimantan Timur) menjadi ibu kota baru. Di sini, ada baiknya barang sejenak kita meneropong seperti apa tipe sosbud masyarakat di situ. Kemudian, meneropong dampak sosbud kepindahan ibu kota ke kota yang sekarang menjadi ibu kota Kaltim tersebut.

Dalam perspektif sosiologi, dapat disarikan bahwa beberapa pemikir besar bidang ilmu itu, memandang bahwa struktur sosial satu masyarakat, didasari oleh dua pondasi. Yakni, pondasi ekonomi. Serta oleh pondasi sosial.

Bisa dikatakan, dua pondasi itu menjadi dasar bagi kuat atau tidaknya integrasi dalam suatu masyarakat. Dua pondasi itu, dalam fakta empirik, tidak berjalan parsial, melainkan paralel dan tumpang tindih antara satu dengan yang lain. Bobot integrasi masyarakat ditentukan oleh relasi antar-dua pondasi itu; keduanya terus-menerus berjalan pengaruh-memengaruhi.

Oleh karena itu, akan sangat baik ketika para pengambil keputusan pemerintahan selalu menyimak dua pondasi itu dalam mengambil kebijakan publik. Termasuk, tentunya, dalam segenap keputusan implementasi memindahkan ibu kota ke Samarinda—sekali lagi, lokasi ini masih berupa asumsi penulis opini ini.

Mari kini bergeser ke Samarinda. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk kota tersebut di 800.000-an. Ada diproyeksikan oleh lembaga itu bahwa, sampai dengan tahun 2020, jumlah penduduk Samarinda belumlah mencapai 1 juta jiwa.

Dari segi etnik, bisa kita sebut bahwa kota tersebut merupakan suatu ‘miniatur Pancasila’ ataupun ‘miniatur masyarakat prulal’. Pasalnya, struktur masyarakat di sana diisi oleh banyak etnik. Ada etnik Kutai, Banjar, Dayak, Bugis, Jawa, Toraja, Sunda, Minangkabau, serta Tionghoa.

Adapun dari segi agama, Samarinda memuat banyak penganut. Ada penganut Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, serta Kong Hu Cu.

Kemudian, dari segi perekonomian, bagaimana tipikal masyarakat Samarinda untuk saat ini? Bisa dikatakan, ukuran perekonomian Samarinda sangat kecil dibandingkan DKI Jakarta. Sekadar gambaran, data BPS menunjukkan bahwa PDB (produk domestik bruto) Samarinda tahun 2016 di Rp 39,61 triliun. Nah, untuk saat yang sama, PDB Jakarta Pusat di Rp 377,96 triliun.

Adapun perekonomian Kalimantan Timur (tentu termasuk Samarinda) banyak dikontribusi oleh sektor pertambangan dan SDA (sumber daya alam) yang tidak dapat diperbarui. Di sini, ada ketergantungan tinggi ke gejolak ekonomi global.

*****

Sudah tentu, ketika Samarinda menjadi ibu kota, ada banyak hal yang berubah. Itu terutama mencakup aspek ekonomi dan sosbud, bukan?

Paralel dengan itu, ada perubahan di pondasi ekonomi dan sosial kota tersebut. Kalau semula bergantung kepada sektor pertambangan dan SDA, kota itu lantas akan mendapatkan semacam generator pertumbuhan baru. Ya, benar perekonomian Samarinda juga akan digerakkan sektor jasa. Itu seperti jasa keuangan, investasi lokal/asing, dan lain-lain.

Lanjutan dari hal ini, PDB kota tersebut dalam jangka panjang akan naik berlipat-lipat. Hal ini, sudah tentu, berpotensi menaikkan daya beli masyarakat, dan lain-lain.

Akan tetapi, apakah kita cukup puas dengan peningkatan daya beli tersebut? Ada baiknya kita sejenak meneropong hal lain, yang terkait pondasi sosbud.

Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, pernah memprediksi bahwa pemindahan ibu kota, berarti memindahkan ASN (aparatur sipil negara) sekira 1,5 juta orang. Mari bandingkan angka ini dengan jumlah warga Samarinda yang, per tahun 2020, belum melewati sejuta jiwa. Artinya, ada potensi bahwa jumlah warga baru, jauh lebih banyak, bukan?

Adalah benar bahwa, saat ini, Samarinda merupakan ‘miniatur Pancasila’ dan ‘miniatur masyarakat prulal’. Akan tetapi, seyogianya kita mencermati adanya potensi bahwa ‘warga lama’ kota itu merasa terpinggirkan di sela gegap gempita datangnya ibu kota baru.

Kata kunci penting muncul di titik ini: pemberdayaan masyarakat Samarinda ketika sudah menjadi ibu kota. Dalam hal ini, pengambil kebijakan harus sedari awal membuka ruang gerak mobilitas vertikal atau juga mobilitas horisontal bagi warga Samarinda. Ini penting agar, nantinya, warga tersebut tidak merasa terpinggirkan oleh kehadiran ibu kota.

Dalam cakupan tersebut, pengambil kebijakan perlu mendesain skema besar yang membuat adanya ‘takaran proporsional’ dalam wajah baru struktur sosbud atau juga struktur ekonomi di ibu kota baru.

Harus dikatakan pula satu hal ini. Yakni, rencananya adanya badan khusus sebagai pengelola ibu kota baru, berpotensi melahirkan rasa keterpinggiran itu. Musababnya, pemerintahan lokal di kota tersebut—yang sudah tentu banyak diisi putra daerah—seolah mendapat ‘pemda bayangan’ berupa badan khusus tersebut.

Akhir kata, memang tidak mudah ketika aspek sosbud mesti dikalkulasi lebih dalam, terkait rencana memindahkan ibu kota. Akan tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa pada hakikatnya, pembangunan di Indonesia tidak boleh steril dari aspek tersebut, bukan?

Adalah sangat tepat ketika dikatakan bahwa saat ini masyarakat di mana pun coraknya sudah seragam. Namun jangan dinafikan pula bahwa corak lokal seyogianya tidak boleh raib total oleh sifat monolit ‘ideologi pembangunan’, bukan?

Nantinya, ibu kota baru, bisa saja bukan Samarinda. Tetapi hal ini penting: jangan nafikan aspek sosbud ibu kota baru.

Iklan

Tinggalkan Komentar Anda

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s