Rp200 Triliun Ditebar, Birahi Properti akan Bangkit Lagi*

Sumber Ilustrasi: Istimewa
Sumber Ilustrasi: Istimewa

Tulisan ini merupakan salah satu dari sekian pandangan personal saya dari kacamata seorang jurnalis properti yang baru beberapa belas tahun menggeluti industri ini. Pandangan yang hingga detik ini masih meyakini ada anomali yang luar biasa di dalam industri properti. Entah, karena saya kurang latah dalam mengikuti arus pandangan pasar secara umum, ataukah sudut pandang dan parameter-parameter makro ekonomi yang saya gunakan untuk melihat kondisi pasar yang berbeda dari para pakar properti yang selama ini berbicara tentang pasar.

Mengapa kondisi pasar properti yang dikeluhkan melambat ini saya sebut sebagai anomali, bisa dibaca pada artikel sebelumnya. Saya memiliki cara pandang yang berbeda, gabungan antara basis makroekonomi dan praksis mikro di sektor properti.

Jika gerak denyut pasar kini sangat ditentukan oleh faktor-faktor nonfundamental, maka satu hal yang perlu dicermati adalah, bagaimana pendekatan yang harus dilakukan untuk menggeliatkan pasar yang kini cenderung adem ayem ini. Saya meminjam istilah adem ayem untuk membahasakan keterangan resmi Ketua DPP REI Eddy Hussy yang mensinyalir adanya penurunan penjualan hingga 20% di kuartal pertama 2015 silam, terlepas dari data valid mana yang digunakan, kita yakini saja itu sebagai sebuah keterangan resmi dan institusi terhormat seperti REI.

Hemat saya, pasar harus diyakinkan bahwa pada detik ini, telah dan siap beredar ratusan triliun Rupiah di tengah masyarakat sana. Ini adalah dana yang bersumber dari anggaran pembangunan pemerintah yang mana untuk pos infrastruktur saja nilainya melampaui Rp200 triliun dan sudah mulai berjalan sejak Mei-Juni 2015. Belum lagi pos anggaran lain, yang notabene, akan menggerakkan roda-roda perekonomian masyarakat. Bayangkan, berapa banyak lapangan kerja yang tercipta dengan puluhan bahkan ratusan megaproyek itu, belum lagi anggaran yang mengucur dari sektor noninfratruktur.

 

Berapa banyak pula usaha-usaha turunan yang dapat dikreasikan untuk menjemput triliunan Rupiah ini.
Memang implikasinya belum terlihat di pasar. Namun, perkiraan saya, akhir tahun 2015 ini hingga awal tahun 2016 adalah saat di mana pundi-pundi masyarakat ini mulai menunjukkan wujud sesungguhnya. Jadi, jika ada yang mengatakan daya beli masyarakat melemah, saya kok kurang sepakat. Mengapa? Adakah pemandangan di luar sana menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia menurun drastis? Spekulasi-spekulasi tanpa dasar yang cenderung latah inilah yang turut memerkeruh sisi psikologi pasar yang sedang tertekan saat ini.

Menurut saya, daya beli pasar tidak mengalami perubahan signifikan dari kondisi tahun lalu bahkan dua tahun lalu. Saat ini pasar pun berada dalam posisi wait and see. Rencana belanja properti mereka masih di-hold sambil melihat kondisi pasar dan mendengar apa kata para pengamat dan pakar. Masyarakat punya uang!

Salah satu fakta yang bisa menjadi tolok ukur adalah meningkatnya simpanan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan. Bank Indonesia, Agustus 2015 merilis penghimpunan DPK pada Agustus 2015 tercatat tumbuh sebesar 12,6% (yoy), atau jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu. Simpanan berbentuk giro pada bulan Agustus tercatat senilai Rp977,4 triliun, simpanan giro dalam bentuk rupiah senilai Rp639,6 triliun, sementara itu simpanan giro dalam bentuk valuta asing tercatat senilai Rp337,8 triliun.

Pilihan mengamankan uang di bank, apakah itu melalui tabungan atau deposito selama ini selalu dihadap-hadapkan dengan provokasi positif untuk membeli properti. Nah, ketika provokasi ini tidak mempan karena tekanan psikis pasar, para pemilik uang akan kembali ke cara konvensionalnya yakni mengamankan uang di bank. Apalagi di saat yang sama, sebagian mereka yang menamakan diri sebagai perencana keuangan mengingatkan untuk berjaga-jagalah dengan stok uang cash di bank sebanyak mungkin karena perekonomian Indonesia akan karam! Ngawur.

Data World Bank menyebut, di akhir tahun 2014 Indonesia menjadi negara dengan total Gross Domestic Product tertinggi ke 8, melampaui Korea Selatan, United Kingdom, bahkan Saudi Arabia. Ini artinya economic size Indonesia masih sangat besar untuk bisa menghindarkan negeri ini dari sekadar karam. Meskipun memang, pendapatan per kapita kita masih jauh lebih kecil karena mayoritas resources kita masih di kelola secara labour intensive. Belum lagi high-cost economy yang terjadi di sana-sini.

Hal lain yang bisa menjadi penambah bius optimisme pasar adalah hasil studi McKinsey yang dirilis baru-baru ini. Konsultan global itu menyebut, perekonomian Indonesia memiliki peluang untuk bangkit kencang jika nilai stok infrastruktur bisa digenjot hingga 70% dari PDB. Saat ini Indonesia baru mencapai rasio 30% dan dengan gencarnya pembangunan infrastruktur oleh pemerintah saat ini, celah 40% ini akan perlahan berkurang dan itu artinya besar sekali peluang Indonesia untuk maju.

Kembali ke soal kondisi di sektor properti. Berbagai parameter makro di atas adalah abstraksi dari kondisi pasar Indonesia dan prospek properti dalam beberapa bulan ke depan. Saat ini pasar di segmen menengah ke bawah masih memiliki gairah yang tinggi. Ya, wajar saja karena bermain di segmen bawah Rp1 miliar tentu risikonya jauh lebih kecil dengan segmen di atas Rp1 miliar. Psikologis bukan?

Kini, realisasi janji pemerintahan Jokowi – JK mulai terjadi dalam tahap eksekusi. Lebih dari Rp200 triliun sudah dan sedang serta akan bergulir di tengah masyarakat. Lantas, adakah alasan yang signifikan untuk terus membuat psikis kita tertekan?

*Penulis,Ferdinand Lamak, adalah Jurnalis Senior; Senior Partner di Indonesia Property Watch (IPW)

Iklan

Tinggalkan Komentar Anda

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s